Sementara kaum yang anti Thariqat Sufi
merasa telah bercermin dengan benar, padahal mereka tidak mengetahui
jika cermin yang digunakan itu adalah cermin yang buram, retak, dan cara
bercermin yang keliru. Ketika mereka menuding orang lain,
sesusungguhnya mereka sedang menuding diri sendiri.
Kata-kata yang muncul dari para Sufi
sesungguhnya harus difahami menurut konsumsi Bathiniyah dari kandung
Al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya ketika seseorang mempraktekkan Ihsan,
“Seakan-akan engkau melihat Allah, dan jika tidak melihatNya, Allah
melihatmU,” pastilah menimbulkan pantulan cahaya Ubudiyah yang agung
dengan sesuai dengan kondisi psikholohis ruhani masing-masinghamba
Allah. Pantulan cahaya Ilahi inilah yang tidak bisa difahami oleh orang
yang tidak pernah megalami perjalaan ruhani ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Mukasyafah
atau keterbukaan Rahasia Ilahi adalah Hak Allah yang diberikan kepada
yang dikehendakiNya. “Allah berbuat sebagaimana yang dikehendakiNya.”
Termasuk menghendaki hambaNya untuk mengetahui yang ghaib, rahasia
takdir, dan rahasia alam semesta raya, baik yang fisik maupun yang
metafisik.
Diantara rahasia yang dianugerahkan oleh
Allah kepada para Sufi adalah mengenal rahasia huruf hijaiyah dalam
Al-Qur’an. Sebab, hakikat huruf-huruf itu adalah Asma’ Allah, dipastikan
memiliki hubungan korelatif dan apresiatif secara paripurna dengan
kehidupan hamba, alam semesta bumi langit seisinya, dan alam akhirat,
bahkan Asma’, Sifat, Af’al dan DzatNya.
Mereka menuduh bahwa kaum Sufi menjauhi
Qur’an dan Hadits, lalu mendahulukan mukasyafah. Ini tuduhan yang salah
benar, karena seluruh aspek Mukasyafah sesungguhnya merupakan penafsiran
dari Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Setiap Mukasyafah harus
ditimbang dengan Qur’an dan Sunnah, hal demikian sangat popular di
kalangan Sufi. Karena itu dalam dunia Sufi, sangat dibedakan mana yang
bisikan Jin, Syetan, Malaikat, Ilham, dan yang langsung dari Allah.
Ibnu Abbas ra, sendiri telah menegaskan
bahwa dirinya diberi Ilmu oleh Allah Ta’ala, sebagian bisa disebarkan
(publikasi), dan sebagian bila disebarkan justru ia akan dikafirkan dan
dibunuh oleh banyak orang. Artinya, aspek Mukasyafah sangatlah
individual, dan memang tidak bisa diungkapkan kecuali pada ahlinya atau
orang tertentu yang relevan dengan manfaat dunia akhiratnya.
Mengenai Wihadatul Wujud, Hulul,
Al-Faidl (ilmuniasi), sesungguhnya justru tidak ada dalam dunia Sufi.
Yang ada adalah Widatus Syuhud. Orang yang pertama kali mengatakan
Wihdatul Wujud adalah Ibnu Taymiyah yang memang anti dengan pengalaman
Dunia Sufi. Ia menuduh Sufi itu Wihdatul Wujud, sebuah tudingan yang
jauh dari pengalaman ruhani Sufistik. Karena Wihdatul Wujud sering
diartikan dengan panteisme, sedang konsep Sufi tentang penyatuan hamba
dan Allah jauh dari panteisme. Penyatuan itu bersifat ruhani dan
musyahadah (penyaksian mata hati, mata ruh dan mata rahasia batin. Bukan
wujud fisik. Hal demikian pun diurai secaa lembut melalui kaidah-kaidah
Sufi agar tidak menyimpang dari Tauhid, sebagaimana dijelaskan secara
rinci oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam.
Kalau kita membaca Al-Qur’an dengan
pandangan kulitnya, formalitas dan penafsiran tekstual belaka, maka kita
pun ketika memahami wacana Sufi juga akan terjebak sedemikian rupa.
Karena itu dalam tradisi Sufi harus ada Mursyid Kamil Mukammil yang
membimbing, agar mereka tidak terkena ghurur (tipudaya) dalam menempuh
perjalanan menuju kepada Allah. Tidak begitu mudah orang memahami
pandangan Ibnu Araby, Abu Yazid al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Bisyr
Al-Hafy, Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abdul Karim al-Jily, Al-Hallaj,
maupun Abul Hasan asy-Syadzily.
Bagaimana anda bisa memahami arti
tenggelam di lautan, sementara anda belum pernah tenggelam, dan hanya
mendengarkan kisah tentang orang tenggelam saja?
Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam?
Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar