Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi, sebagaimana ungkapan Abu Yazid al-Busthamy, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”.
Bahkan
Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Arasy, Kursy, Qolam, langit
dan bumi diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama
Maujud, dan dialah yang bersemayam di Arasy.
JAWABAN
Kenapa mereka yang kontra terhadap dunia
Sufi sebegitu dangkal memahami metafor-metafor yang menjadi bahasa khas
para Sufi? Sebegitu dangkalkah mereka memahami Al-Qur’an sehingga
memiliki tuduhan terhadam kaum Sufi sebagai kelompok yang berpandangan
sesat?
Para Sufi sama sekali tidak pernah
berpandangan bahwa Rasulullah SAW. tidak mencapai martabat Sufi. Justru
sebaliknya Rasulullah adalah tipe ideal Insan Kamil, sebagai puncak
paripurna yang tak tertandingi dalam dunia Sufi. Rasulullah adalah
teladan utama para Sufi. Rasulullah SAW, adalah panutan secara syari’at
maupun hakikat dari para penempuh jalan Sufi. Rasulullah adalah
par-exellent yang justru membimbing jiwa-jiwa yang rindu kepada Allah,
dan kerinduan kepada Allah secara hakiki hanya dialami oleh para
penempuh itu.
Coba jika mereka mau mencoba memahami
karya Ibnu Araby maupun Al-Jily yang selama ini mereka tuduh sebagai
biangkerok penyimpangan akidah. Mereka tidak memahami bahasa-bahasa
hakikat dalam tradisi ilmu Tasawuf, yang mereka gunakan hanyalah akal
rasional. Sedangkan wilayah akal rasional itu, tidak mampu menyentuh
dunia batin, dunia ruh, dunia Rahasia Ilahi. Obyek rasional hanyalah
teori, logika dan aksioma, dan terbukti gagal untuk Ma’rifatullah.
Apakah mereka akan terus menerus berkubang dalam Lumpur tipudaya
imajiner mereka?
Salah satu contoh betapa mereka dangkal
memahami metafora dunia Sufi adalah cara mereka menilai Abu Yazid
Al-Bisthamy. Kata-kata Abu Yazid itu bukan sama sekali menunjukkan bahwa
Abu Yazid lebih unggul dari para Nabi dan Rasul. Coba renungkan dengan
jiwa yang suci, kata-katanya, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi
sudah berhenti di pantainya…”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa para Nabi
dan Rasul sudah tuntas menyelami Lautan Ilahi. Nabi dan Rasul sudah
sampai ke benuanya, sedangkan Abu Yazid masih mengarunginya.
Abu Yazid sedang mengarungi Lautan demi
Lautan Ilahi, Lautan Malakut, Lautan Jabarut dan Lautan Lahut. Bahkan
Tujuh Lautan Ilahi yang sedang diarunginya. Para Nabi dan Rasul sudah
selesai, sudah sampai ke pantai benuanya, turut memberi syafaat dan
mendoakan Abu Yazid dan yang lainnya.
Mengenai Nur Muhammad dan Muhammad
sebagai awal wujud, memang benar. Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul
di dunia, yang lahir dalam waktu dan ruang sejarah, tahun tertentu, dan
dengan peristiwa historis tertentu, tentu berbeda dengan nama Muhammad
yang menjadi awal maujud ini.
Mereka yang kontra dengan dunia Sufi
memang tidak memahami apakah sesungguhnya hakikat Nur (Cahaya) itu
sendiri. Berapa lapiskah Cahaya Ilahi itu, dan apa bedanya Nurullah
dengan Nur Muhammad, apa pula bedanya dengan Nurun alan-Nuur, yang ada
di Al-Qur’an itu. Justru para Ulama Sufilah yang bisa menafsirkan secara
universal dan tuntas mengenai ayat Cahaya dalam Al-Qur’an itu.
Belum lagi makna dari Kegelapan
(Dzulumat), bagaimana wujud dzulumat, apa pula lapisan dzulumat, fakta
dzulumat, rekayasa dzulumat dan bagaimana strategi Iblis dan Syetan
muncul dari wahana dzulumat?
Dalam hadits disebutkan, “Pertama kali
diciptakan adalah An-Nuur”, dan hadits lain menyebutkan, “Awal yang
diciptakan Allah adalah al-Qolam…” serta hadits lain berbunyi, “Awal
yang diciptakan Allah adalah akal…”
Tiga hadits itu sesungguhnya sama sekali
tidak bertentangan. Kalau mereka mau mempelajari Ushul Fiqh saja, akan
tahu bagaimana sistematika istimbath manakala ada hadits satu sama lain
yang terkesan kontradiktif. Maka ada jalan keluar untuk menyimpulkan
secara al-Jam’u (kompromi) atau bersifat nasikh dan mansukh. Tetai
hadits tersebut cukup difahami dengan penggunaan metode al-Jam’u, yaitu
dengan memahami bahwa Nur, Qolam, Akal, adalah “satu kesatuan dalam
keragaman”.
Karena satu kesatuan, Nur, Qolam dan
Akal merupakan tiga dimensi yang saling berkelindan, baik secara
eksistensial maupun fungsional. Artinya Nur adalah esensi dari akal, dan
Akal adalah esensi dari Qolam. Nur adalah rahasia Akal, dan Akal adalah
rahasia Qolam, dan Qolam adalah awal ayang membuat Titik dari huruf Nun
dalam Kun itu.
Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah
Wujud Paripurna secara ruhani dari seluruh alam semesta, karena itu jika
disebutkan dalam ayat Ar-Rahmaanu ‘alal Arsyi Istawa (Yang Maha Rahman
bersemayam di Arasy) maka, hakikat Ar-Rahman secara makrokosmos adalah
jiwa Muhammad, dan Muhammad adalah penyempurna Ar-Rahman yang termaujud
dalam Ar-Rahim. Karena itu dalam Surat At-Taubah, dua ayat terakhir,
menyebutkan sifat Nabi Muhammad adalah Ro’ufur Rohiim.
Maka, dengan akal yang dangkal dan
pikiran rasional, manusia sering memaksa diri untuk memahami hal-hal
yang metafisis, akhirnya malah gagal, lalu berujung menjadi sikap
apriori terhadap dunia alam bathiniyah, yang menjadi wilayah hamparan
pertumbuhan Cahaya Iman kita. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar