Ketika
anda mendengar kata “sufi” atau orang sufi saya yakin hampir sebagian
kita tergambar sebuah kehidupan sederhana di padang pasir yang tandus,
ada pohon kurma lengkap dengan ontanya serta tergambar juga dalam
pikiran kita seorang yang pakaian sederhana memakai jubah dan surban
seperti lazimnya orang Arab. Mungkin tidak semua dari anda berpandangan
seperti itu, tapi itulah gambaran umum tentang kaum sufi dan gambaran
itulah yang terekam dalam pikiran saya sebelum mengenal dunia sufi dari
seorang Wali Allah.
Disampul
buku-buku tasawuf juga kita lihat orang berjubah yang hidup sederhana,
makanya tidak mengherankan banyak orang alergi dengan tasawuf karena
dalam pandangan mereka orang sufi itu adalah jenis manusia zuhud yang
tidak memerlukan lagi dunia, mereka hanya memikirkan Tuhan semata.
Kritik tajam terhadap kaum sufi adalah mereka egois hanya memikirkan
diri sendiri dengan ibadahnya sehingga melupakan hubungan dengan
manusia.
Pandangan miring terhadap tasawuf dan
dunia sufi itu saya dengar dalam sebuah perbincangan disebuah warung
kopi, dimeja sebelah saya 4 mahasiswa IAIN sedang berbincang tentang
sufi menurut pandangan mereka dan sangat disayangkan obrolan mereka
bukan membahas kebaikan ajaran tasawuf tapi malah membahas hal-hal buruk
tentang sufi. “Orang sufi ketika suluk tidak makan daging, dari
mana dalilnya itu? Bukankah tindakan seperti itu tandanya tidak
mensyukuri nikmat Allah, kenapa melarang sesuatu yang dihalalkan Allah?” demikian seorang mahasiswa memaparkan pandangannya tentang tasawuf. Kemudian yang lain menambahkan, “Saya
setuju dengan tasawuf sebagai pelajaran akhlak, tapi saya tidak setuju
dengan Tarekat, jumlahnya begitu banyak jadi membingungkan dan terkesan
Islam itu terpecah padahal Islam itu kan satu, tidak ada ajaran-jaran
khusus sejak zaman dulu dan Nabi dengan sifat amanahnya tidak pernah
menyembunyikan ilmu apapun, sementara mereka (kaum sufi) mengatakan
memperoleh ilmu laduni, mana ada dalil seperti itu?”. Obrolan yang
mirip diskusi itu terus berlanjut membahas hal-hal yang mereka sendiri
tidak memahami dengan lengkap dan saya sambil menikmati secangkir kopi
hanya senyum-senyum saja. Sebelum meninggalkan warung kopi saya hampiri
mereka dan mengatakan, “yang kalian bahas itu tidak ada hubungan
sedikitpun dengan tasawuf, persis seperti orang buta membahas tentang
Gajah yang tidak pernah dilihatnya. Kalau kalian ingin belajar tasauf
jangan hanya membaca tapi carilah guru yang ahli untuk membimbing kalian
agar bisa mengamalkan tasawuf dengan benar.” Mereka menatap saya
dengan wajah terkejut dan saya segera meninggalkan mereka dengan sejuta
tanda tanya. Dalam hati saya berdoa mudah-mudahan Allah membimbing
mereka sehingga menemukan Guru Mursyid yang Kamil Mukamil.
Banyak orang membaca tentang tasawuf dan
dunia sufi dari orang-orang yang tidak memahami sepenuhnya tentang
tasawuf, hanya memahami secara teori dan kemudian pemahaman yang tidak
lengkap tersebut dituangkan lagi dalam buku dan dibaca oleh orang awam
maka timbul salah persepsi tentang tasawuf. Lebih parah lagi, membaca
tentang tasawuf dari orang-orang yang memang anti dengan tasawuf,
kelompok-kelompok yang mengambil ilmu dari orientalis yang selalu
memojokkan tasawuf. Salah satu ucapan orientalis yang diyakini sebagian
besar kaum muslim adalah mereka mengatakan tasawuf itu bukan berasal
dari Islam tapi hasil percampuran antara Yahudi, Kristen dan filsafat
yunani.
Dalam Islam sendiri ada kelompok yang
memang sangat anti dengan tasawuf, saya tidak menyebutkan nama kelompok
tersebut dan saya yakin anda mengerti yang saya maksudkan dan kebetulan
kelompok tersebut bukan hanya tasawuf yang dianggap sesat tapi hampir
seluruh aliran dalam Islam selain dari mereka dianggap sesat.
Kembali ke Sufi, karena seringnya kita
membaca buku-buku tentang sufi, cerita sufi, anekdot sufi yang seluruh
ceritanya sebagian besar menceritakan dengan latar belakang kehidupan di
tanah Arab, dan itu wajar karena cerita-cerita tersebut diambil dari
kitab-kitab yang ditulis oleh orang Arab.
Apakah Sufi itu hanya di arab? Dan
apakah menjadi sufi itu harus selalu berjubah dengan sekian banyak
tambalan, pakaian compang camping, memegang tongkat atau menggembala
domba? Kalau menjadi sufi harus seperti itu maka saya yakin orang
Indonesia tidak satupun memenuhi Kriteria menjadi seorang sufi .
Tasawuf adalah ajaran moral agar akhlak
manusia menjadi lebih baik dan setahap demi setahap melangkah
mendekatkan diri kepada Allah sampai benar-benar dekat sehingga tidak
ada keraguan lagi yang disembah adalah Allah SWT. Seperti ucapan Abu
Yazid ketika ditanya tenang Allah, Beliau berkata, “Tiada keraguan
sedikitpun bahwa itu adalah Allah”.
Siapapun yang mengamalkan tasawuf,
apakah orang arab, Indonesia, China bahkan orang Eropa sekalipun maka
hatinya akan terisi dengan Nur Ilahi, memiliki gairah dalam berzikir
mengingat Allah kemudian timbul rasa cinta dan rindu kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Sufi akan hadir dimana saja, mungkin dia
suka nongrong di mall, atau sering duduk di warung kopi, atau sedang
bekerja sebagai karyawan yang apapun yang dilakukan selalu tidak
melupakan zikir kepada Allah. Bisa jadi teman disebelah anda dalam
pesawat, tukang parkir yang sering senyum kepada anda, tukang bengkel
yang memperbaiki mobil anda atau juga bahkan seorang penyanyi yang anda
kagumi, jangan-jangan mereka adalah sufi yang selama ini anda cari.
Tubuh mereka dibungkus oleh pakaian yang sesuai dengan zaman dan tempat
mereka berada, namun hati mereka tidak berubah sedikitpun.
Sufi akan terus menjadi misteri
sepanjang zaman dan tidak mudah dikenali kecuali oleh sufi itu sendiri.
Mereka lebih senang kalau manusia tidak mengenali mereka sebagai sosok
sufi yang alim, mereka lebih nyaman tidak diketahui agar terhindar dari
sifat sombong dan ria. Mereka melakukan zikir lama-lama atas rasa cinta
dan kerinduang kepada Sang Kekasih dan tentu saja tidak dilakukan di
dalam mesjid atau tempat terbuka karena memang tujuan mereka beribadah
bukan untuk mendapat pujian manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar