TENTANG ASWAJA
A. PEMAHAMAN TENTANG ASWAJA
Selama ini yang kita fahami tentang aswaja adalah Ahlusunah Wal
Jama'ah. sebagai manhajul Qauli/ sebagai mazhab. Artinya Aswaja adalah
suatu aliran atau sekte yang dalam wilayah teologi menganut madzhab
pemikiran Abu hasan al-Asy'ri dan Abu Mansyur al Maturidi, dalam wilayah
fiqih menganut mazhab empat (Syafi'I. Hambali. Maliki. dan Hanafi),
sedangkan dalam wilayah Tassawuf menganut mazhab pemikiran imam al
Ghozali dan imam Junaidi Al Bagdadi.
Pemahaman Aswaja sangat
eksklusif, aswaja menjadi salah satu firqo atau sekte dalam islam yang
di klaim masuk Surga sedangkan yang lain masuk Neraka, hal ini
berdasarkan hadists Nabi yang menyatakan bahwa umat islam akan terpecah
menjadi 73 golongan yang lain masuk neraka sedangkan aswaja masuk surga.
Hal ini yang mendasari saling klaim bahwa golongannyalah yang paling
aswaja. sehingga yang terjaterjadi pemahaman aswaja tidak utuh dan
ilmiah namun hanyalah berdasarkan penafsiran dari masing-masing golongan
yang tentu saja bias kepentingan apalagi kalau sudah tercampur dengan
kepentingan politik. Sehinga tidaklah aneh apabila tern aswaja
menjadisuatu senjata yang paling ampuh dalam menghabisi lawan-lawan
politiknya.
B. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ASWAJA
Berawal dari
sesudah wafatnya Nabi Besar Muhammad SAW. Seperti kita baca dalam
berbagai sejarah bahwa ketika rasullulah masih hidup kehidupan para
sahabat di penuhi oleh suasana heroik yakni melawan para kaum kafir,
energi meraka relatif tersita untuk kejayaan Islam. Sehingga kalaupun
ada konflik masih muda untuk di selesaikan karena begitu kuatnya peran
dan pengaruh Rasullulah dalam kehidupan para sahabat. Selain itu
Rasullulah juga berhasil meredam rasa fanatisme kesukuan pada umat
Islam. Begitu juga kalau terjadi pemahaman tentang Islam ataupun tentang
adanya wahyu dari Allah SWT bisa menanyakan lansung pada sumber utama
yaitu Rasullulah. Hal ini sangat berbeda kondisinya ketika Rasullulah
telah wafat. Mulailah timbul pertengtangan dan perselisihan antara
sahabat baik dalam pemahaman dan penafsiran teks ataupundalam masalah
socila politik. Konflik antar umat Islam juga disebabkan karena belum
lunturnya rasa fanatisme kesukuan arab yang sempat hilang ketika
Rasullulah masih hidup.
Konflik yang merupakan konflik terbesar dan
berpengaruh terhadap perkembangan Umat Islam hingga saat ini adalah
terbunuhnya Kholifah Utsman yang akhirnya menjadikan timbulnya konflik
besar dalam Umat Islam , terbunuhnya Sayyidina Utsman kemudian di
gantikan Kholifah Sayidina Ali yang ternyata tidak didukung oleh
sebagian sahabat terutama Mu'awiyah bin Abu Sofyan mengakibatkan
konflik berkepanjangan. Mu'awiyah menuduh bahwa yang melakukan rekayasa
pembunuhan Utsman adalah sahabat Ali padahal Mu'awiyah adalah merupakan
pendukung utama Sayyidina Utsaman. pada akhirnya konflik ini mencapai
anti klimaksnya ketika terjadi " Tahkim Siffin" yaitu proses perdamaian
antara kubu Ali dan Mu'awiyah. Kubu Ali yang diwakili oleh Abu musya Al
Asy'ri melakukan perdamaian dengan kubu Mu'awiyah yang di wakili oleh
Amru bin Asy. Inti perdamaian menimbulkan ketidak puasan dari kubu ali
karena mereka mengklaim bahwa perjanjian tersebut merupakan rekayasa
dari pihak Mu'awiyah dan menguntungkan pihak Mu'awiyah, dimana pada saat
itu mereka terdesak untuk memperoleh kemenangan secara licik. Akibat
dari perjanjian tersebut timbul bermacam tanggapan terhadap Tahkim
Siffin maka semenjak itu umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan.
Ada golongan yang setia kepada Ali yang di sebut Kaum Syi'ah, sedangkan
pengikut setia Ali yang tidak sependapat terhadap Tahkim Siffin menjadi
golongan Khowarij.
Golongan Khowarij berasal dari orang-orang Arab
gurun yang terpencil sehingga mempengaruhi pola pikir meraka yang
cendrung sempit dan keras dan memegang teguh teks-teks agama, serta tak
lagi menggap Ali dan Mu'awiyah sebagai saudara karena telah melenceng
dari sumbuh poros agama yang sebenarnya. mereka mengatakan bahwa
pengikut Ali dan Mu'awiyah telah menjadi kafir dan Murtad, karena
golongan Khowarij berpedoman pada ayat " artinya Barang siapa tidak
memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT maka meraka
itu adalah orang-orang kafir" (QS: 5:44), dengan semboyan Lahukma
Illaallah (Tiada Hukum kecuali HUkum Allah SWT), klaim ini berkembang
pada orang-orang yang berbuat dosa adalah kafir karena mereka telah
melanggar Hukum Allah SWT.
Pertikaian politik antara golongan ini
semangkin meluas semenjak Tahkim Siffin adalah kaum Syi’ah adalah
barisan yang setia kepada Sayidina Ali sebagai figur yang sangat sentral
dan mengkultuskan Ali seolah-olah Ali lebih tinggi posisinya dari Nabi.
Dan juga lahir golongan baru yaitu Murji’ah dengan berpendapat bahwa
kaum muslimin yang melakukan dosa besar tidak bisa di vonis kafir karena
itu adalah hak Allah SWT. Ketika Mu’awiyah mencapai kejayaan Mu’awiyah
mengembangkan faham Jabariyah yaitu suatu faham yang berkeyakinan
segala sesuatu yang terjadi adalah karena Allah, sebagai makhluk
ciptaannya dan manusia hanya bisa menerima apa yang telah di takdirkan
oleh Allah.
Pendapat Mu’awiyah di tentang oleh golongan oposisi
karena mereka beranggapan bahwa pendapat seperti itu agar para pendukung
Ali tidak melakukan balas dendam atas segala perbuatan MU’awiyah
terhadap Ali dan pendukungnya. Golongan Oposisi berpendapat bahwa segala
sesuatu yang terjadi adalah karena manusia bukan kesalahan Allah.
Karena meraka beranggapan kalau ini di kembalikan kepada Allah maka hal
ini tidak mungkin Allah melakukan dan Menakdirkan manusia untuk berbuat
jahat. Berarti perbuatan jahat manusia adalah tanggung jawab manusia itu
sendiri.
Friksi antara Faham Jabariyah yang cenderung fatalism di
satu sisi dan faham Qodariyah yang cenderung Freewill atau Free Ect
disisi lain semangkin mengkristal. Meskipun pada mulanya hal ini ini
didasari oleh pertikaian politik umum kemudian berimplekasi pada mode
penafsiran meraka dan akhirnya pada konsep teologi meraka sendiri. Dan
pada akhirnya faham Qodariyah melahirkan kelompok Mu’tazilah. Pada era
rezim inilah tradisi filsafat mulai berkembang dengan pesat di kalangan
Umat Islam.
Dalam ranah politik inilah kebesaran Mu’tazila tidak
terlepas dari dukungan penguasa yang kuat dan hegomoni. Seiring
perkembangan zaman mulai timbul reaksi terhadap pradigma yang dibangun
oleh kaum Mu’tazilah. Tokoh yang melakukan reaksi terhadap faham
Mu’tazilah adalah Abu Hasan Al Asy’ri cucu Abu Musa Al Asy’ri yang
dulunya adalah tokoh penganut fahaman Mu’tazilah namun kemudian dia
melakukan kritikan terhadap Mu’tazilah dengan mencoba kembali kepada
teologi yang dianut para pendahunya. Dengan Rumusan teologi yang coba di
gagas oleh Asy’ri adalah merupakan penggabungan dari jabariyah yang
fatalism dan Qodaryah yang Free Will.
Konsep jalan tengah inilah
yang ditawarkan oleh Asy’ri yang kemudian dinamakan Ahlisunah
Waljama’ah. Karena mengklaim bahwa meraka memegang teguh faham yang
dianut oleh para sahabat dan dianggap bersih dan interst tertentu.
Aliran Aswaja beranggapan bahwa manusia memiliki kebebasan menentukan
perbuatannya namun dia tidak akan mampu melaksanakan apa yang dia
inginkannya kalau pada saat yang bersamaan Allah tidak menciptakan
perbuatan yang diinginkan manusia. Inflikasi dari lahirnya Aswaja dalam
bidang Fiqih melahirkan Empat Mazhab sedangkan dalam bidang Tasawuf
melahirkan Dua pemikir besar yaitu Al Ghozali dan Junaidi Albagdadi.
Ada dua pemaknaan aswaja yang berkembang yaitu yang pertama aswaja
memposikan sebagai Manhaj Al Qouli atau madzhabi artinya aswaja adalah
sesuatu produk dari serah yang tidak perlu adanya penafsiran ulang
tentang aswaja. Kita sebagai penganut aswaja cukuplah kalau kita
mengamalkan apa yang diajarkan oleh para pendahulu kita. tidak perlu
adanya kontekstualisasi nilai-nilai aswaja dalam kehidupan yang
semangkin kompleks . sedangkan yang kedua aswa yaitu aswaja dijadikan
Manhaj Al Fikir artinya aswaja dijadikan metode berpikir/ landasan
berfikir/ frem dalam berfikir. Berarti aswaja dijadikan sebagai ideologi
yang terbuka/ opening ideologi. Sehingga tidak lagi diperlukan adanya
aswaja yang kaku dan eksklusif hal yang paling penting adalah
tercapainya pokok-pokok pikiran yang di kembangkan aswaja. Aswaja
sebagai Manhaajul Fikir dimana diharapkan umat islam yang Inklusif,
Demokratis, Toleran dan mampu menghargai perbedaan bukan hanya dengan
saudara seiman dan bahkan terhadap komonitas non muslim.
C. MEMPOSISIKAN ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKIR
Memposisikan aswaja sebagai manhajul fikir berarti menjadikan sebagai
pijakan, paradigma landasan gerak atau metode dalam mengambil sesuatu
keputusan yang paling penting adalah prinsip-prinsip aswaja yaitu
tawasud,tasamuh, tawazu. I’tidal tetap sebagai landasan gerak.
Dengan demikian pembacaan kompleksitas permasalahan tetap menggunakan
nilai-nilai spiritualitas, pesan-pesan ketuhanan dan
kenabian/aktualisasi dalam tingkah laku yang lebih praktis adalah
bersikap kritis, proposional, obyektif, egaliter, serta kontekstual.
Seperti yang terkandung dalam prinsip aswaja Tawaazun, Tasamuf, Tawasud,
I’tidal. Serta lima prinsip hukum Islam yang akan melindungi manusia
yang mengandung nilai-nilai Humanisme dan Universal yaitu : - Hifdlu-din
(Memelihara Kebebasan Beragama), - Hifdlu Al-Aql (Memelihara Kebebasan
Berfikir dan Akal Fikiran),- Hifdlu-Mal (Memelihara Harta), -Hifdlu-Nafs
(Memelihara Hak Hidup),- Hifdlu Al-Nasl (Memelihara Keturunan). Hal-hal
inilah yang menjadi prinsip dasar aswaja yang sebenarnya merupakan
tanggung jawab pemegang kekuasaan. Semoga pemahaman kita tentang aswaja
semangkin urgen dalam menyikapinya aswaja agar aswaja tidak merupakan
harga mati sehingga wacana tentang aswaja selalu Up To Date.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar