Selasa, 22 November 2011

Hakikat Aswaja

Hakikat Ahlussunnah Wal Jamaah

Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah wal Jamaah, jam'iah Nahdlatul Ulama semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai penganut, pengemban dan pengembang Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan sekuat tenaga, Nahdlatul Ulama berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah wa Jamaah.
Pada hakekatnya, Ahlussunnah wal Jamaah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya.

Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah wal Jamaah, jam'iah Nahdlatul Ulama semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai penganut, pengemban dan pengembang Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan sekuat tenaga, Nahdlatul Ulama berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah wa Jamaah.
Pada hakekatnya, Ahlussunnah wal Jamaah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya.
Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa umatnya akan tergolong menjadi banyak sekali (73) golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah wa Jamaah. Atas pertanyaan para sahabat mengenai definisi as-Sunah wal Jamaah, beliau merumuskan dengan sabdanya:
ما انا عليه اليوم واصحابى
"Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku".
Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan pengikut setia pada al-Sunnah wa al-Jamaah, yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zamanya itu.
Ahlussunnah wal Jamaah bukanlah suatu yang baru timbul sebagai reaksi dari timbulnya beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran yang murni seperti Syiah, Khawarij, Mu'tazilah dan sebagainya. As-Sunnah wal Jamaah sudah ada sebelum semuanya itu timbul. Aliran-aliran itulah yang merupakan gangguan terhadap kemurnian as-Sunnah wal Jamaah. Setelah gangguan itu membadai dan berkecamuk, dirasakan perlunya predikat Ahlussunnah wal Jamaah, dipopulerkan oleh kaum muslimin yang tetap setia menegakkan as-Sunnah wal Jamaah, mempertahankannya dari segala macam ganguan yang ditimbulkan oleh aliran-aliran yang mengganggu itu. Mengajak seluruh pemeluk islam untuk kembali kepada as-Sunnah wal Jamaah.

Peranan para Sahabat 

Para sahabat, generasi yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw. adalah generasi yang paling menghayati as-Sunnah wal Jamaah. Mereka dapat menerima langsung ajaran agama dari tangan pertama. Kalau ada yang belum jelas, dapat menanyakan langsung pula kepada Rasulullah saw. terutama al-Khulafa ar-Rosyidun:
  • sahabat Abu Bakar as-Shiddiq ra, 
  • sahabat Umar bin Khatab ra, 
  • sahabat Utsman bin Affan ra, 
  • dan Sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Memang para sahabat adalah manusia biasa yang tidak memiliki wewenang Tasyri' (تشر يع = membentuk atau mengadakan hukum). Tetapi di dalam tathabiq (تطبيق = menerapkan prinsip-prinsip pada perumusan sikap dan pendapaat yan kongkret), peranan mereka tidak dapat dikesampingkan karena hanya ada kritik atau koreksi dari seseorang atau kelompok orang manusia biasa pula yang jarak zamannya sedemikian jauh dengan zaman Rasulullah saw. dan kemampuan penghayatannya terhadap as-sunnah wal Jamaah sulit diyakini melebihi kemampuan para sahabat.
Rasulullah saw. bersabda:
عليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
"Haruslah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk." (HR. Ahmad)
Nahdlatul Ulama berpendirian teguh, bahwa al-Mahdiyyin (yang mendapat petunjuk) adalah sifat menerangkan kenyataan bukan sifat yang merupakan syarat yang membatasi. Artinya, memang semua Khulafa ar-Rosyidin itu, tanpa diragukan lagi adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, bukan orang-orang yang sebagian mendapat petunjuk dan sebagian tidak. المهديين adalah sifat kata الخلفاء bukan sifat kata: سنة . Bahkan, jumhur ulama berpendapat bahwa para sahabat Rasulullah saw. adalah para tokoh yang diyakini kejujurannya didalam masalah penyampaian ajaran agama. Keragu-raguan terhadap kejujuran para sahabat merupakan salah satu bahaya bagi kemantapan saluran ajaran agama, apa alagi terhadap Khulafa ar-Rosyidin al-Mahdiyyin. Keraguan tersebut akan mengacaukan, mengaburkan dan mengeruhkan jalur-jalur yang harus ditelusuri sampai kepada as-Sunnah dan al-Qur'an.
Para sahabat yang mendengar ucapan, melihat perbuatan dan menghayati sikap (taqrir) Rasulullah saw. kemudian ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah saw itu dikumpulkan, dicatat dan dikodifikasikan. Para sahabat pula yang mendengar dan mencatat Rasulullah saw., membaca ayat-ayat al-Qur'an, kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi mushaf yang sampai sekarang kita yakini sebagau mushaf al-Qur'an yang otentik.
Selain dalil-dalil qauli (bersifat ucapan) yang memberi kesaksian Rasulullah saw. atas kemampuan penghayatan para sahabat terhadap apa yang diajarkan oleh beliau, terdapat pula dalil-dalil yang sekaligus qauli dan fi'li (bersifat perbuatan tindakan). Beliau merestui beberapa sahabat melakukan ijtihad (mengerahkan daya pikir untuk mendapat kesimpulan pendapat berdasarkan atas pemahaman dan peghayatan terhadap nash al-Qur'an dan al-Hadits). Yang paling terkenal ialah ketika Rasulullah saw. mengutus sahabat Mu'adz bin Jabal ra. ke Yaman. Atas pertanyaan Rasulullah saw., sahabat Mu'adz ra memberi jawaban yang dapat dirumuskan:
  1. Kalau sesuatu masalah ada dalilnya yang jelas didalam al-Qur'an, maka keputusan hukum diambil berdasarkan al-Qur'an
  2. Kalau tidak terdapat dalam al-Qur'an dan terdapat didalam as-Sunnah, maka diambil berdasarkan as-Sunnah
  3. Kalau tidak terdapat dalil yang jelas didalam al-Qur'an dan juga tidak terdapat didalam as-Sunnah, maka keputusan hukum diambil berdasarkan ijtihad (hasil daya pikir).
Pasti dapat diyakinkan oleh setiap pemeluk Islam, bahwa para sahabat bukanlah sekelompok orang yang dibina oleh Rasulullah saw. hanya untuk diri mereka sendiri tanpa berkelanjutan peranannya. Pasti para sahabat adalah generasi pertama kaum muslimin mengemban tugas melanjutkan missi dan perjuangan Rasulullah saw. mengembangkan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok dunia kepada segenap umat manusia.
Allah berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَٟكَ إِلَّا كَآفَّةًۭ لِّلنَّاسِ بَشِيرًۭا وَنَذِيرًۭا وَلَٟكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٢٨﴾
"Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti". (QS. As-Saba: 28)
Pasti para sahabat adalah pembawa cahaya Islam yang diterima dari Rasulullah saw. kepada generasi-generasi sesudahnya.
Rasulullah saw bersabda:
اصحابى كالنجوم بايهم اقتديتم اهدينتم
"Para sahabatku adalag ibarat bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu sekalian ikut, maka kamu akan mendapat petunjuk".
Para sahabat, pasti bukan sekedar pembawa rekaman ayat-ayat al-Qur'an dan as-Sunnah sja, tetapi sekaligus adalah juga pembawa pentauladanan, penjelasan dan pendapat mengenai arti ayat al-Qur'an dan al-Hadits itu sesuai dengan penghayatannya.

Generasi sesudah Sahabat

Sesudah generasi sahabat, tugas melanjutkan missi dan perjuangan Rasulullah SAW. diterima oleh generasi baru yang disebut tabi'in (تابعين = para pengikut). Selanjutnya ganti berganti, berkesinambungan generasi demi generasi menerima misi dan perjuangan itu, para tabi'in, para Imam Mujtahidin, para Ulama Shalihin, dari zaman ke zaman.
Kalau pengumpulan dan penyusunan catatan-catatan ayat-ayat al-Qur'an sampai menjadi sebuah mush-haf yang otentik sudah terselesaikan pada zaman sahabat, maka pengumpulan Hadits baru dirintis dan dilakukan oleh para tabi'in. selanjutnya seleksi, kategorisasi, sistematisasinya digarap dan dirampungkan oleh generasi-generasi sesudahnya. Segala macam syarat, sarana dan metode untuk menyimpulkan pendapat yang benar dan murni dari al-Qur'an dan al-Hadits diciptakan dan dikembangkan. Mulai dari ilmu-ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharraf, Ma'ani, Badi', dan Bayan sampai kepada ilmu mantiq (logika) dan filsafat, dirangkaikan dengan ilmu tafsir, ilmu Mushthalahul Hadits sampai kepada Ushul Fiqh dan al-Qowa'id al-Fiqhiyah. Semuanya dimaksudkan untuk dapat mencapai kemurnian ajaran as-Sunnah wal Jamaah.
Bukan hanya guna mendapatkan ilmunya untuk diamalkan sendiri, tetapi sekaligus juga segala ilmu yang didapat itu di siarkan, di da'wahkan dan lebih dari untuk diamalkan oleh sebanyak mungkin umat.
Mereka as-Sabiqunal Awwalun ( السابقون الاولون = generasi terdahulu) itu bergerak ke segala penjuru dunia, dengan segala jerih payah, dengan penderitaan dan pengorbanan menyebarkan as-Sunnah wal Jamaah, Kaaffatan linnaas ( كافة للناس = kepada seluruh umat manusia). Tidak terkecuali ke tanah air Indonesia ini. Para Muballighin, atas resiko sendiri tanpa dukungan dari kekuasaan politik dan tanpa dukungan dari kekuatan materil yang berarti membawa as-Sunnah wal Jamaah itu kemari. Dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap para Muballighin yang lain, tidaklah dapat dilewatkan menyebut jasa-jasa para wali Muballighin yang dikenal dengan istilah Wali Sanga, kelompok sembilan yang paling berkesan di dalam sejarah islam di Indonesia.

Sistem dan Methode

Bagi para sahabat Rasulullah saw. yang hidup se zaman dengan beliau, tidaklah terlalu sulit mendapatkan kemurnian ajaran agama Islam, karena jarak waktu dan jarak fisik yang sangat dekat. Namun makin jauh jarak fisik dengan sumber pertama, maka menjadi sulit untuk mendapatkan kemurnian as-Sunnah wal Jamaah itu, terutama karena besarnya gangguan-gangguan yang membahayakan kemurnian tersebut.
Kecuali jauhnya jarak dan adanya gangguan-gangguan, kesulitan untuk mendapatkan as-Sunnah wal Jamaah itu menjadi lebih berat, karena al-Qur'an hanya mengandung hal-hal yang prinsip sedang al-Hadits, meskipun lebih terperinci isinya, tetapi disampaikan oleh Rasulullah saw. secara parsial (sebagian-sebagian) sehingga satu masalah saja (umpamanya cara melakukan shalat) mungkin beratus-ratus jumlah al-Hadits yang berhubungan dengan masalah shalat ini. Belum lagi, seleksi al-Hadits dan latar belakang sejarah disampaikannya oleh Rasulullah saw.
Oleh karenanya, tidak semua orang mampu memahami sendiri dan menyimpulkan pendapatnya mengenai sesuatu masalah langsung dari al-Qur'an dan al-Hadits, secara benar sehingga dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya. Dengan demikian diperlukan sistem yang dapat dipertanggung jawabkan, bagi seseorang yang perlu punya pendapat atau perlu melakukan sesuatu hal mengenai ajaran agama.
  1. Bagi yang memenuhi syarat dan sarana untuk mengambil kesimpulan pendapat (istinbath استنباط ) sendiri dapat menggunakan sistem ijtihad, yaitu ber-istinbath sendiri.
  2. Bagi yang tidak memenuhi syarat atau yang meragukan kemampuannya sendiri, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali mengikuti hasil ijtihad atau istinbath orang lain yang mampu, yang disebut dengan istilah sistem taqlid.
Memaksa semua orang beristinbath dan berijtihad sendiri, bukan saja tidak tepat tetapi juga sangat membahayakan kemurnian ajaran agama Islam, membahayakan as-Sunnah wal Jamaah. Rasulullah bersabda:
 اذا وسد الامر الى غير اهله فانتظر الساعة
"Tatkala suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran saat perkara itu)."

Karakteristik

Karena as-Sunnah wal Jamaah itu tidak lain adalah ajaran agama Islam yang murni sebagaimana dianjurkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya, maka perwatakan (karakteristik) nya adalah juga karakteristik agama itu sendiri.
Karakteristik agama Islam yang paling esensial adalah:
  • Prinsip at-Tawassuth, jalan pertengahan, tidak tathorruf (ekstrem = تطرف ) kekanan-kananan atau kekiri-kirian.
  • Sasaran Rahmatan lil ‘alamin, menyebar rahmat kepada seluruh alam. 

Karakter At-Tawassuth wal I'tidal

Pengertian at-Tawassuth

As-Sunnah wal Jamaah adalah ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. dan diamalkan oleh beliau bersama para sahabatnya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa karakter as-Sunnah wal Jamaah serambutpun tidak bergeser dari karakter agama Islam sendiri. Karakteristik as-Sunnah wal Jamaah adalah karakteristik agama Islam.
Ada tiga kata istilah yang diambil dari al-Qur'an dalam menggambarkan karakteristik agama Islam, yaitu:
  1. at-Tawassuth = التوسط
  2. al-I'tidal الاعتدال
  3. at-Tawazun التوازن.

At-Tawassuth = التوسط

yang berarti: pertengahan, diambil dari firman Allah swt. (dari kata wasathan = وسطا )
وَكَذَٟلِكَ جَعَلْنَٟكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًۭا ۗ
"Dan demikianlah, kami telah menjadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengan ( adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia dan supaya Rasulullah saw. menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian … (QS. Al-Baqarah: 143)

Al-I'tidal =  الاعتدال

Berarti tegak lurus, tidak condong kanan dan tidak condong ke kiri, diambil dari kata al-Adlu ( العد ل) keadilan atau I'diluu ( اعد لوا = bersikap adillah) pada ayat:
يَٟٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٟمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
"Hai orang-orang yang beriman kendaklah kamu sekalian menjadi orang yang tegak (membela kebenaran) karena Allah swt. Menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil (bil qisthi). Dan jangan sekali-kali kebencianmu kepada kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah itu Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8) 

At-Tawazun = تشرالتوازن

berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsur atau kekurangan unsur yang lain. Diambil dari kata al-waznu atau al-mizan alat penimbang dari ayat:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِٱلْبَيِّنَٟتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ ٱلْكِتَٟبَ وَٱلْمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلْقِسْطِ ۖ
"Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Mizan (penimbnagn keadilan)supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (al-qisth) … (QS. Al-Hadid: 25)
At-Tawassuth (termasuk al-I'tidal dan at-Tawazun), bukanlah serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan mengucilkan diri dari menolak pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter at-Tawassuth bagi Islam adalah memang sejak semula Allah swt sudah meletakkan di dalam Islam segala kebaikan, dan segala kebaikan itu pasti terdapat di antara ujung tatharruf, sifat mengujung, ekstrimisme. Prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam ini harus diterapkan didalam segala bidang, supaya agama islam dan sikap serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia umumnya.

Penerapan Prinsip dan Karakter at-Tawassuth

Manifestasi prinsip dan karakter at-Tawassuth ini tampak pada segala bidang ajaran agama Islam dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya, terutama oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah, pengikut setia as-Sunnah wal Jamaah.

Bidang Aqidah

  1. Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasional) dengan dalil naqli (nash al-Qur'an dan al-Hadits) dengan pengertian, bahwa dalil aqli dipergunakan dan ditempatkan dib awah dalil naqli.
  2. Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah dari luar Islam.
  3. Tidak tergesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas mereka yang karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan tauhid/ aqidahnya, semurni-murninya.

Bidang Syari'ah

  1. Selalu berpegang teguh pada al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan menggunakan metode dan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan dan melalui jalur-jalur yang wajar.
  2. Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sharih dan qath'i (tegas dan pasti), tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.
  3. Pada masalah yang dhanniyat (tidak tegas dan tidak pasti), dapat di toleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama. 

Bidang Tashawwuf/Akhlak

  1. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, denga riyadhoh dan mujahadah menurut kaifiyah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan ajaran islam.
  2. Mencegah ekstrimisme dan sikap berlebih-lebihan (al-Ghuluwwu) yang dapat menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syariah.
  3. Berpedoman bahwa ahlak yang luhur selalu berada di antara dua ujung sikap yang mengunjung, misalnya:
    1. Syaja'ah (الشجاعة) berani, di antara Jubn (penakut) dan at-Tahawwur (sembrono)
    2. Tawadhu' (التواضع) menempatkan diri secara tepat, di antara takabbur (sombong) dan tadzallul (rendah diri)
    3. Jud atau karom  (الجود ـ الكرم) luman (Jawa-ed.) dan dermawan, di antara Bukhl (kikir) dan Israf (boros)

Bidang Mu'asyaroh (pergaulan) antar golongan

  1. Mengakui watak tabiat manusia yang selalu senang berkelompok dan bergolong-golong berdasarkan atas unsur pengikatnya masing-masing.
  2. Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar saling mengerti dan saling menghormati
  3. Permusuhan terhadap sesuatu golongan, hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang nyata memusuhi agama Islam dan Umat Islam. Terhadap yang tegas memusuhi Islam, tidak boleh ada sikap lain kecuali sikap tegas.

Bidang Kehidupan Bernegara

  1. Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya.
  2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak meyeleweng, dan/atau memerintah kearah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.
  3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tata cara yang sebaik-baiknya. 

Bidang Kebudayaan

  1. Kebudayaan, termasuk di dalamnya adat-istiadat, tata pakaian, kesenian dan sebagainya adalah hasil budi daya manusia yang harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar dan bagi pemeluk agama, kebudayaan harus dinilai dan diukur dengan norma-norma hukum dan ajaran agama.
  2. Kebudayaan yang baik dalam arti menurut norma agama, dari manapun datangnya dapat diterima dan dikembangkan. Sebaliknya, yang tidak baik harus ditinggalkan. Yang lama yang baik dipelihara dan di kembangkan. Yang baru yang lebih baik dicari dan dimanfaatkan.
تشر المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح
Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru atau sebaliknya selalu menerima yang baru dan menolak yang lama

Bidang Dakwah

  1. berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk berbuat menciptakan keadaan yang lebih baik, terutama menurut ukuran ajaran agama. Tidak mungkin orang berhasil mengajak seseorang dengan cara yang tidak mengenakkan hati yang diajak. Berdakwah bukan menghukum.
  2. Berdakwah harus dilakukan dengan sasaran tujuan yang jelas, tidak hanya sekedar mengajak berbuat saja, menurut selera.
  3. Berdakwah harus dilaksanakan dengan keterangan yang jelas, dengan petunjuk-petunjuk yang baik, sebgaimana seorang dokter atau perawat berbuat terhadap pasien. Kalau terdapat kesulitan, maka kesulitan itu harus ditanggulangi dan diatasi dengan cara yang sebaik-baiknya.

Bahaya bagi Kemurnian Ajaran Islam

Banyak sekali dalam Ayat-ayat Al Qur'an, Allah SWT , memberikan jaminan, bahwa dia pasti memelihara agamanya. Namun jaminan itu tidaklah berarti bahwa agama Islam berkembang dan terpelihara tanpa rintangan ancaman, hambatan dan bahaya- bahaya terhadap kemurniannya dan kelangsungan perkembangannya. Juga tidak berarti, bahwa kaum muslimin tidak perlu berjuang memelihara kemurnian agamanya, tidak perlu bersusah payah mengembangkan agamanya. Rasulullah SAW diharuskan berjuang untuk mengembangkan agama itu dengan susah payah, dengan penderitaan, bahkan berkali-kali jiwanya terancam dan mendapat luka-luka pada waktu berdakwah dan pada waktu berperang. Rasulullah SAW harus memberikan pengorbanan segala galanya demi tugasnya mengemban dan mengembangkan agama Islam.
Pada zaman ini pun, bahaya fisik bagi kaum muslimin yang harus dihadapi secara fisik pula masih terdapat di beberapa bagian dunia ini umpamanya di Palestina. Beratus ribu kaum muslimin Palestina harus mempertaruhkan jiwanya untuk dapat kembali dari kamp-kamp pengungsiannya ke negrinya, palestina. Mereka masih harus berjihad fisabilillah, bahkan ber-qital (perang) untuk pulang ke kampung halamannya, mendekati masjidil Aqsha.
Meskipun demikian, secara umum dan keseluruhan muslimin, terutama umat Islam Indonesia tidak lagi menghadapi bahaya fisik itu sebagai satu-satunya bahaya yang paling besar.
Sejak beberapa abad terakhir ini bahaya permanen yang selalu mengancam Islam, bahaya laten yang selalu muncul pada tiap kesempatan adalah serangan musuh Islam dalam wujud yang lain, yaitu serangan yang dilakukan oleh apa yang lazim disebut kaum orientalis.
Kaum orientalis ialah mereka, para cerdik cendikiawan yang tekun mempelajari masalah-masalah ketimuran terutama masalah Islam, tetapi sama sekali bukan untuk kepentingan Timur dan Islam. Bahkan sebaliknya, untuk menghancurkan timur dan Islam. Mereka belajar tentang Islam sedalam-dalamnya, belajar bahasa arab dan bahasa timur lainnya dengan segala kelengkapannya, dari sejarah, sosiologi, hukum dan adat istiadat Islam. Dari sudut keilmuan, mereka mungkin jauh lebih mengerti dari pada beberapa para sarjana Islam sendiri. Sayang maksudnya hanya satu: Menghancurkan Islam, sebagai kelanjutan dari perjuangan golongan mereka dalam perang salib. Secara fisik, perang salib memang sudah lama berakhir, tetapi secara ma'nawi ( politik, Ideologi dan kebudayaan ) berlangsung terus berabad-abad kemudian, sampai sekarang dan akan berlangsung seterusnya.
Medan perjuangan mereka mengancam kelangsungan dan kemurnian Islam sangat luas, tak terbatas. Senjata dan saluran perjuangan mereka, terutama adalah otak, pikiran dan imu, terutama ilmu tentang islam dan keislaman. Dengan ilmu dan dengan saluran ilmu, mereka berusaha:
  1. Mengaburkan, kemudian mengoncangkan jalur agama Islam kedua, yaitu al-hadits. Mula-mula mereka membayang-bayangkan sesuatu yang pantas di ragukan, yaitu kemampuan seorang sahabat Abu hurairah ra., bagaimana seseorang mampu meriwayatkan Hadist sekian banyaknya. Dibayangkan pula keraguan terhadap kemampuan seorang imam Zuhri, bagaimana seseorang mampu mengumpulkan hadits yang bertebaran sedemikian rupa. Akhrinya mereka berusaha menggoncangkan keyakinan kaum muslimin akan adanya hadits-hadits yang shahih yang benar-benar dari Rasulullah saw. Kalau kaum muslimin sudah "kehilangan hadits" karena semua hadits diragukan kebenaran dan keasliannya, maka berarti sudah kehilangan jalur utama kepada al-Quir'an.
  2. Menganjurkan penggunaan akal sebebas-bebasnya, karena Islam sendiripun menghargai akal dan pikiran. Mereka ingin menumbuhkan pendapat bahwa akal manusia cukup untuk mengatur segala-galanya. Sasaran terakhir mereka ialah supaya kaum muslimin lebih menampilkan akalnya dan mengesampingkan agamanya. Kalau sasaran ini sudah tercapai, maka dengan mudah mereka memompa otak kaum muslimin dengan teori, paham, dan doktrin ciptaan mereka, antara lain:
    1. intelektualisme, yang pada pokoknya megajarkan bahwa dengan akal saja, manusia akan dapat mencapai segala hidupnya.
    2. Materialisme, yang pada pokoknya mengajarkan bahwa yang paling menentukan hidup manusia adalah benda.
    3. Sekularisme, yang pada pokoknya mengajarkan bahwa manusia harus dapat memisahkan masalah duniawi yang harus dijadikan urusan pokok dari masalah ukhrawi yang masih diragukan kebenarannya
Sudah tentu bahaya terhadap kelangsungan hidup dan kemurnian ajaran Islam tidak hanya datang dari orientalisme saja yang merupakan bahaya dari luar. bahaya yang ada dalam tubuh kaum muslimin sendiri, banyak juga meskipun sebagian berasal dari luar dan sudah lama berada di dalam, antara lain:
  1. Sikap memihak yang berlebih-lebihan kepada seseorang atau sekelompok orang, baik karena motif kekeluargaan atau kekuasaan atau motif lainnya, sehingga cenderung mencari dalih dan dalil untuk membenarkan sikap sendiri. Hal ini mulai tampak pada ahir masa khalifah Utsman bin Affan, pada zaman ke khalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib dan seterusnya dengan munculnya aliran Syi'ah dan Khawarij.
  2. Masukknya pengaruh filsafat Yunani yang memunculkan aliran Mu'tazilah dan sebagainya.
  3. Masih adanya sisa kepercayaan lama seperti Israiliyyat, Majusi, dan lain sebagainya. Sisa-sisa ini ditambah dan dikobarkan kembali dengan sengaja oleh unsur-unsur munafiqin. Di wilayah-wilayah baru yang didatangi oleh agama Islam, sisa-sisa kepercayaan lama ini pun merupakan sesuatu yang membahayakan kemurnian ajaran Islam. Tidak terkecuali di Indonesia.
  4. Sikap "menentang yang lama" secara berlebih-lebih sehingga tergelincir oleh sikap "serba anti yang lama". Anti madzah, anti taqlid, anti ziarah kubur, dan lain sebagainya.
Segala kelemahan yang ada di dalam tubuh kaum muslimin itu sendiri itidak satupun yang terlepas dari perhatian kaum Orientalis untuk dipergunakan sebagai jalur penyalur usahanya mengeruhkan kemurnian Islam meskipun demikian, senjata ilmu yang mereka gunakan itu ahirnya mulai tampak menjadi "senjata makan tuan" ketekunan mereka mempelajari ilmu keislaman telah menjalar, menjadikan jumlah peminat itu semakin banyak. Di antara mereka yang tekun mempelajari ilmun keislaman ini tidak sedikit yang kemudian benar-benar menerima Islam sebagai satu kebenaran yang harus diikuti. Islam mulai berkembang di kalangan para sarjana itu terbuktilah kebenaran janji Allah SWT. Dalam firmanNya:
 يَٟٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوٓا۟ ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَٟنَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ ٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْكُفْرَ عَلَى ٱلْإِيمَٟنِ ۚ
"Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka dan Allah tidak berkenan kecuali menyempurnakan Cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak suka." (QS. At-Taubah: 32)
KH. Abdullah Syamsul Arifin:


Sabtu, 19 November 2011

Aswaja Era Globalisasi

ASWAJA DI ERA GLOBALISASI

 Memahami dan membentengi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di masa kini tidak saja perlu, tetapi jia penting untuk menerapkan dan mempertahankan akida h ke depan. Apalagi di era sekarang ini, tantangan dari berbagai aliran sesat semakin marak di mana-mana. Maka pendidikan keimanan dan akidah harus digalakkan, agar pemahaman tentang Aswaja benar-benar membumi di tengah umat.
Pendidikan Aswaja harus dimulai sejak dini di madrasah-madrasah di Indonesia. Diharapkan sejak awal, umat ini mengenal akidahnya secara benar, sehingga memiliki resistensi (daya tolak) terhadap ancaman dan tantangan dari luar yang terasa semakin tinggi intensitasnya.
Saat ini semakin banyak faham agama yang bemunculan, umat masih bingung , aliran bagaimana yang sesat dan faham apa yang selamat. Apalagi mereka juga kurang memahami apa dan bagaiaman Ahussunnah wal Jama’ah.
Salah satu keprihatinan yang terjadi di tengan umat Islam di negeri ini adalah kerancuan dalam memahami mengenai manhaj (metode berfikir) dan madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui ada empat madzhab mayoritas dalam masalah fikih, yaitu Madzhab Hanafi, madzhab  Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali. Walaupun kenyataanyya di Indonesia madzah Syafi’ilah yang mayoritas diikuti oleh mayoritas umat Islam.
Dalam intern umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sering terjadi gesekan gara-gara perbedaan faham dalam sebuah hokum.  Padahal perbedaan antar madzhab itu namanya ikhtilaf, yang masih diperbolehkan atau dapat ditoleransi. Karena terjadi dalam masalah furu’iyah (masalah di luar akidah). Sedangkan perbedaan dalam akidah (teologi dan ideologi) itu disebut iftiraq (sempalan), yang tidak bias “diampuni” (dibenarkan, pen). Itu artinya faham Aswaja yang dianut mayoritas muslimin di Indonesia sangat tajam dengan Ahmadiyah, Syi’ah, Isma’iliyyah dan sebagianya (transnasional) dan al-Qiyadah al-Islamiyah, Islam murni, Islam Haq dan seterusnya (nasional), karena non aswaja itu sudah jauh mengalami diviasi (penyimpangan akidah) dari standar Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Meresmikan Ajaran Ahlussnunnah wal Jama’ah
Selain pembentengan ke dalam, berbagai ormas Islam Aswaja seharusnya mengusulkan pemerintah untuk mengundangkan Aswaja sebagai aliran resmi Negara, sebagai representasi faham yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Jika di Iran saja yang mayoritas syi’ah sudah menetapkan syi;ah sebagai agama/keyakinan resmi pemerintah yang tidak bias diamandemen, masak Aswaja di sini yang lebih dulu berdaulat tidak bias memperjuangkan aspirasi yang menjadi representasi rakyat banyak? Tidak bias menjadikan Aswaja sebagai faham resmi (yang diakui Negara?) Kita tentu yakin pemilih terbesar dalam pemilu parpol itu insya Allah pasti Sunni! Maka mestinya lewat badan legislatif hal tersebut dapat diperjuangkan ke depan.
Untuk itu diharapkan partai-partai Islam di negeri ini, melalui wakil-wakilnya di DPR pada masa mendatang bias mengegolkan Undang-undang yang menetapkan Aswaja sebagai faham resmi Negara. Hal ini bertujuan agar supaya eksternal (pihak-pihak luar) untuk merusak Aswaja yang sudah ratusan tahun menjadi keyakinan umat ini tidak bias terlaksana. Masalahnya sekarang ini zamannya sudah berubah dan berbeda. Dengan mengatasnamakan Hak-hak Azazi Manusia (HAM) bias saja berbagai aliran yang ada sekarang sengaja menghancurkan mayoritas keyakinan umat, untuk selanjutnya menancapkan hegemoni dan ideology mereka di negari ini. Mereka sesame aliran dan faham sempalan bisa bersatu padu untuk menumpas Aswaja.
Sementara ancaman pelbagai sempalan itu akhir-akhir ini semakin terasa menekan Aswaja, namun tidak mendapat “perlawanan” yang memadai dari para ulama’ dan cendikiawan dari kalangan Aswaja sendiri. Sebab mungkin citra mereka yang sudah semakin canggih yang jarang disadari oleh para cendikiawan Aswaja. Apalagi media yang mereka gunakan juga semakin luas. Mereka menerbitkan buku-buku dan media cetak lain untuk mempengaruhi umat. Mereka kadangkala juga menggunakan CD dan VCD untuk propaganda.
Kelengahan Umat Islam Akibat Ketidaktahuan
Penganut Aswaja di Indonesia kini bagaikan di persimpangan jalan. Mereka dibuat bingung karena selain tidak memahami Aswaja secara seksama juga karena tidak mampu mengidentifikasi aliran-aliran sesat. Sehingga kritik-kritik mereka yang anti Ahlussunnah wal Jama’ah ditelan begitu saja, padahal belum tentu kritik itu benar atau konstruktif. Mereka bertujuan untuk menghapus empat madzhab, yang ditikan dengan cara mempermasalahkan hadits-hadits yang dibawa oleh para pemuka sahabat Nabi. Jika haditsnya sudah mampu mereka kontaminasi dengan keragu-raguan, maka dengan mudah madzhabnya ditebang.
Misalnya ada pihak-pihak yag mempermasalahkan dan mempertanyakan kebanaran kitab-kitab Imam Bukhari dan Imam Muslim. Mereka mengeritik hadits-hadits yang ada dalam kitab Bukhari-Muslim itu. Namun umumnya umat awam diam saja. Karena  ketidaktahuannya terhadap mereka yang mengeritik dan apa yang dikritik itu, padahal kritik mereka salah dan bukan pada tempatnya. Sebab mereka hanya mengambil sepotong saja, atau kadangkala hany a mengambil teks tanpa melihat konteks isi hadits Nabi.
Misalny saja, tentang hadits tawar-menawar jumlah waktu shalat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi SAW. Mereka mengritik kebenaran Hadits yang sudah diakui mayoritas ulama’ itu. Menurut mereka apa benar dan masuk akal, Allah yang memiliki kekuasaan dan kewenangan mutlak kok bias ditawar-tawar, padahal yang disebut itu sebagi bentuk belas kasih Allah kepada umat Muhammad SAW?
Kritik mereka sepintas masuk akal, tapi tetap keliru. Kalau tawar-menawar bilangan shalat itu dipermasalahkan, berarti mereka juga tidak menerima ayat al-Qur’an. Dalam surat Al-Ahzab ayat 72 Allah SWT. menawarkan amanat untuk menjadi khalifah di muka bumi kepada langit, bumi dan gunung-gunung tetapi semuanya menolak. Apakah ayat yang menceritakan tawa-menawar amanat juga ditolak, seperti mereka menolak tawar-manawar shalat?
Tujuan sempalan itu bukan mau membangun ukhuwah, namun dalam kenyatannya  mau membunuh dengan cara dekonstruksi (membongkar) ajaran Aswaja sebaimana yang digunakan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Pekerjaan mereka hanya membongkar (dekonstruksi) tanpa ada solusi tawaran yang baik, karena niat mereka Cuma mau merusak kemudian untuk menguasai.
Nah, di sini diperlukan kewaspadaan yang tinggi dari semua pihak, agar generasi muda kita tidak mudah dibelokkan dengan cara-cara yang sepintas terkesan cerdas namun kenyataannya merusak. Bagaimana cara yang efektif untuk mengatasi berbagai ancaman dan tantangan eksternal terhadap Aswaja Indonesia itu?
Pertama, adalah pengefektifan pendidikan Aswaja yang memadai kepada generasi muda agar memiliki resistensi (daya tahan) yang tinggi terhadap kehadiran sempalan yang kadang sulit dideteksi ini.
Kedua, mempererat ukhuwah kedua ormas Islam terbesar di Nusantara yakni NU dan Muhammadiyah, sebagai wadah formal dan paling terkenal agar tidak mudah dipecah belah oleh sempalan (yang kini sudah membuat wadah tandingan).
Ketiga, segera melakukan counter (serangan balasan) yang sistematis dan terencana terhadap upaya dekonstruksi (pembongkaran) atas Aswaja atau pelecehan terhadap doktrin Aswaja. Misalnya tentang penistaan terhadap pemuka sahabat dan istri Nabi SAW. Bukhari dan Muslim dan t
okoh-tokoh Sunni lainnya.
Keempat, menerbitkan buku-buku yang menyegarkan pemikiran Aswaja sehingga dapat menjadi pegangan bagi genarasi penerus Aswaja ke depan
.

Kamis, 17 November 2011

ahlussunnah Sufiyah

Setelah kita menyebutkan perkataan Imam Asy-Syafii dan Imam Waki’ (salah seorang guru Imam Asy-Syafii), kita akan menyebutkan beberapa perkataan ulama yang lain tentang Sufiyah [Shufiyyah] atau tasawuf [tashawwuf, tashowwuf].
1. Imam Malik (guru Imam Asy-Syafii) –rohimahumalloh-
Al-Qodhi ‘Iyadh rohimahulloh berkata dalam kitabnya Tartib Al-Madarik Wa Taqrib Al-Masalik 2/54: At-Tinisi berkata: Kami dulu berada di sisi Malik, dan para muridnya berada di sekelilingnya. Kemudian seorang dari penduduk Nashibiyin berkata: “Di tempat kami ada satu kaum yang disebut dengan sufiyah, dimana mereka makan banyak, kemudian mereka mulai membaca qasidah-qasidah [qashidah, qoshidah], kemudian bangkit dan menari.” Maka Imam Malik berkata: “Apakah mereka anak-anak?” Dia menjawab: “Tidak.” Imam Malik bertanya: “Apakah mereka orang-orang gila?” Dia menjawab: “Bahkan mereka adalah para tokoh agama yang berakal!” Maka Imam Malik berkata: “Aku tidak mendengar bahwa seorang muslim akan melakukan demikian.”

2. Imam Ahmad bin Hambal (murid Imam Asy-Syafii) –rohimahumalloh-
Beliau memperingatkan dari berteman dan duduk-duduk dengan mereka. Beliau pernah ditanya tentang nasyid-nasyid dan qasidah-qasidah –yang disebut sima’- yang dilakukan Sufiyah. Maka beliau mengatakan: “Itu perkara yang diada-adakan dalam agama (tidak ada landasannya dalam agama Islam).” Kemudian ditanyakan kepada beliau: “Apakah boleh kami duduk-duduk dengan mereka?” Beliau menjawab: “Tidak.”
Dan Imam Ahmad juga berkata tentang Al-Harits Al-Muhasibi –seorang imam tasawuf-. Maka beliau berkata kepada murid-muridnya: “Aku tidak mendengar tentang hakekat-hakekat seperti perkataan orang ini. Dan aku tidak berpadangan engkau boleh duduk-duduk dengannya.” (Tahdzibut Tahdzib 1/327)
3. Abu Zur’ah Ar-Rozi -rohimahulloh-
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata dalam At-Tahdzib: Al-Bardza’i berkata: Abu Zur’ah ditanya tentang Al-Muhasibi dan kitab-kitabnya, maka dia menjawab: “Hati-hati kamu dari kitab-kitab ini, (yang berisi) bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan. Dan wajib kamu berpegang teguh dengan al-atsar (hadits, sunnah, petunjuk Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam), sesungguhnya engkau akan mendapati dalam atsar yang mencukupimu dari kitab-kitab ini.”
Kemudian ada yang bertanya kepadanya: “Di dalam kitab-kitab ini ada pelajaran?”
Dia menjawab: “Barangsiapa yang tidak mendapat pelajaran dalam Kitabulloh, maka dia tidak akan mendapat pelajaran dalam buku-buku ini. Apakah telah ada kabar sampai kepada kalian bahwa Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, atau Al-Auza’i atau para imam lainnya menulis kitab-kitan tentang lintasan-lintasan hati dan was-was (bisikan-bisikannya) serta perkara-perkara ini? Kaum sufiyah ini telah menyelisihi para ulama. Kadang mereka membawa Al-Muhasibi kepada kita, kadang membawa Abdurrohim Ad-Daili, dan kadang membawa Hatim Al-Ashom… Betapa cepatnya manusia berlari menuju para ahli bid’ah ini.”
Orang-orang sufi itu berpaling dari syariat Islam, karena mereka bodoh tentang syariat dan suka mengada-adakan perkara agama dengan pendapat ro’yu (akal) mereka. Mereka senang dengan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam beragama dan beribadah.
Begitulah kebanyakan orang yang mengaku bermadzhab syafii, tidak mengambil pendapat/perkataan Imam Asy-Syafii kecuali yang mencocoki hawa nafsu mereka dalam masalah fiqih dan ibadah. Sedangkan dalam masalah aqidah dan manhaj tidak menempuh jalan yang ditempuh beliau. Padahal masalah aqidah dan tauhid itulah dasar agama.

Rabu, 16 November 2011

Islam Kontekstual

Tlisan ini merupakan Resume dari Studi Pemikiran Modern dalam Islam pada bagian Bab Islam Kontekstual. Sayang kalo cuma udunk simpan di harddisk. Mending ni Udunk share.. :)
Islam kontekstual berasal dari dua kata yaitu Islam dan Kontekstual. Kontekstual berasal dari bahasa Inggris, context yang berarti istilah yang berhubungan dengan kata-kata, konteks, suasana, dna keadaan. lalu menjadi contextual yang berhubungan dengan konteks, atau dengan pengertian lain yakni keadaan atau situasi dimana suatu kalimat atau perkataan itu dikatakan. dengan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa Islam kontekstual adalah Islam yang dipahami sesuai dengan situasi dan kondisi dimana Islam itu dikembangkan.
Adanya Islam kontekstual didasarkan pada latar belakang sejarah ketika  Islam diturunkan, sebagaimana diturunkannya al-Qur’an. Al-qur’an yang diturunkan selama tiga belas tahun di Makkah (Surat Makkiyyah) misalnya, berbeda dengan al-Qur’an yang diturunkan selama sepuluh tahun di Madinah (Surat Madaniyah). terjadinya perbedaan corak dan isi tersebut disebabkan antara lain karena perbedaan sasaran, tantangan, dan masalah yang dihadapi di dua daerah tersebut.
Dengan mengambil pelajaran terhadap perbedaan respon yang diberikan oleh al-Qur’an tersebut di atas, maka para peneliti tentang Islam memandang bahwa untuk dapat memahami Islam secara benar harus melihat konteks situasi dan kondisi dimana Islam tersebut dikembangkan. Hal ini dianggap perlu dipertimbangkan agar Islam tidak asing dengan berbagai masalah yang dihadapi. Inilah antara lain yang melatarbelakangi timbulnya Islam Kontekstual.
Bentuk Paham Islam Kontekstual yaitu dengan memahami konteks sosial dalam memahami ajaran Islam atau dalam mengajarkan ajaran Islam. Memahami konteks sosial dalam memahami ajaran Islam  dapat menyebabkan akan terhindar dari pemahaman yang sesat tentang Islam.  Sedangkan memahami koteks sosial dalam mengajarkan ajaran Islam akan menyebabkan dipilihnya metode dan pendekatan yang tepat dalam menyampaikannya.
Pendekatan Islam Kontekstual dlam memahami Islam memiliki berbagai keuntungan. Pertama, dapat menghindari dari pemahaman Isalam yangsesat atau sekehendak ornag yang memahaminya. Kedua, membawa orang untuk mengikuti kehendak agama, bukan sebaliknya. ketiga, memungkinkan ajaran Islam berlaku sepanjang zaman. Keempat, memungkinkan ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan sosial. kelima, memungkinkan Islam memberikan respons yang tepat terhadap berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat:. segitudulu ah cape mgetik nya mikum,,,

fungsi filsafat

fungsi filsafat pendidikan islam

Filsafat Pendidikan Islam. Maret 4, 2008 at 6:48 am (Filsafat Pendidikan Islam) A. Pendahuluan. Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak ...Posted by: mudakir fauzi | March 7, 2009 pengertian, obyek kajian, fungsi dan tugas filsafat pendidikanPendidikan Islam Harus Beragam. Maret 4, 2008 at 6:52 am (Filsafat Pendidikan Islam) Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam ...FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. A. Pendahuluan. Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang ...oleh : M. Ihsan Dacholfany. A. Pendahuluan . Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang ...
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM: Analisis Filosofis Metoda. Senin, 01 Desember 2008. FILSAFAT ... sistem pendidikan Islam, maka metode pun mempunyai fungsi yang amat ...Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) ... Melalui buku Filsafat Pendidikan Islami ini, Ahmad Tafsir menggugat pendidikan kita yang ...3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. ... Pengertian Filsafat pendidikan Islam Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata ...Agama Islam dan Filsafat — by (course_default) — last modified 04-21-2009 03:06 PM ... Islam mengenai filsafat, pemecahan masalah melalui filsafat, proses ...Makna Filsafat dan filsafat pendidikan Islam. Istilah "filsafat" dapat ... bahwa kegunaan dan fungsi filsafat pendidikan Islam ternyata amat strategis. .

Filsafat Tauhid

Manusia selalu mencari sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya. Dia tidak pernah menganggap bahwa sesuatu mungkin terwujud dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab. Seorang sopir yang mobilnya mogok akan turun dari kendaraannya dan memeriksa kemungkinan sebab-sebab mogoknya mobil itu. Tidak akan pernah terpikir olehnya bahwa mobilnya akan bisa mogok manakala segala sesuatu berada dalam kondisi yang prima. Untuk membuat mobilnya bisa berjalan lagi, dia akan menggunakan cara apa pun yang bisa dilakukannya. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja menunggu mobilnya bisa berjalan lagi.
Jika seseorang merasa lapar, dia akan berpikir tentang makanan. Jika dia haus, dia akan memikirkan air. Jika dia kedinginan, dia akan mengenakan pakaian tambahan atau menyalakan api. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja sambil meyakinkan dirinya bahwa suatu kebetulan akan menyelesaikan masalahnya. Seseorang yang ingin mendirikan bangunan, meminta jasa seorang arsitek, dan para pekerja bangunan. Dia tidak akan pernah berharap bahwa keinginannya terlaksana dengan sendirinya.
Bersama dengan maujudnya manusia, gunung-gunung, hutan-hutan, dan lautan-lautan yang luas juga telah ada bersamanya. Dia selamanya telah melihat matahari, bulan, dan bintang bergerak dengan teratur dan terus-menerus melintasi langit.
Meski demikian, orang-orang yang berilmu di dunia, tanpa mengenal lelah, telah mencari sebab-sebab wujud-wujud dan fenomena-fenomena yang menakjubkan itu. Tidak pernah mereka mengatakan: “Selama kita hidup, kita telah menyaksikan benda-benda langit tersebut dalam bentuknya seperti yang sekarang ini. Karena itu, tentu mereka terwujud dengan sendirinya.”
Hasrat ingin tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap sebab-sebab ini memaksa kita menyelidiki bagaimana benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan. Kita dipaksa untuk bertanya “ Apakah alam semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan sistem yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?”
Apakah sistem mengagumkan yang berlaku di seluruh alam semesta ini, yang diatur oleh hukum-hukum abadi tanpa kekecualian dan yang membimbing segala sesuatu menuju tujuannya yang unik, dikendalikan oleh suatu kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas, ataukah ia muncul secara kebetulan saja?
Jawaban terhadap pertanyaan ini positif, artinya ke manapun manusia melihat di seluruh penjuru semesta ini, ia akan melihat bukti-bukti yang melimpah akan adanya satu Pencipta dan Kekuatan Pemelihara, sebab manusia melihat bahwa setiap ciptaan itu menikmati anugerah-anugerah wujud dan secara otomatis bergerak mengikuti jalan yang tertentu, akhirnya lenyap dan digantikan makhluk yang lain. Makhluk-makhluk ini tidak pernah mewujudkan dirinya sendiri, menciptakan arah perkembangannya sendiri, ataupun memainkan peran sekecil apa pun dalam menciptakan atau atau mengorganisasi eksistensi mereka.
Bersama dengan maujudnya manusia, gunung-gunung, hutan-hutan, dan lautan-lautan yang luas juga telah ada bersamanya. Dia selamanya telah melihat matahari, bulan, dan bintang bergerak dengan teratur dan terus-menerus melintasi langit.
Meski demikian, orang-orang yang berilmu di dunia, tanpa mengenal lelah, telah mencari sebab-sebab wujud-wujud dan fenomena-fenomena yang menakjubkan itu. Tidak pernah mereka mengatakan: “Selama kita hidup, kita telah menyaksikan benda-benda langit tersebut dalam bentuknya seperti yang sekarang ini. Karena itu, tentu mereka terwujud dengan sendirinya.”
Hasrat ingin tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap sebab-sebab ini memaksa kita menyelidiki bagaimana benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan. Kita dipaksa untuk bertanya “ Apakah alam semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan sistem yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?”
Apakah sistem mengagumkan yang berlaku di seluruh alam semesta ini, yang diatur oleh hukum-hukum abadi tanpa kekecualian dan yang membimbing segala sesuatu menuju tujuannya yang unik, dikendalikan oleh suatu kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas, ataukah ia muncul secara kebetulan saja?
Jawaban terhadap pertanyaan ini positif, artinya ke manapun manusia melihat di seluruh penjuru semesta ini, ia akan melihat bukti-bukti yang melimpah akan adanya satu Pencipta dan Kekuatan Pemelihara, sebab manusia melihat bahwa setiap ciptaan itu menikmati anugerah-anugerah wujud dan secara otomatis bergerak mengikuti jalan yang tertentu, akhirnya lenyap dan digantikan makhluk yang lain. Makhluk-makhluk ini tidak pernah mewujudkan dirinya sendiri, menciptakan arah perkembangannya sendiri, ataupun memainkan peran sekecil apa pun dalam menciptakan atau mengorganisasi eksistensi mereka.
Kita sendiri tidak memilih kemanusiaan kita atau karakteristik-karakteristik manusiawi kita; kita diciptakan sebagai manusia dan diberi karakteristik-karakteristik kemanusiaan tersebut. Sama halnya, akal kita tidak akan pernah bisa menerima bahwa semua wujud yang ada di alam semesta ini terwujud secara kebetulan saja, dan bahwa sistem wujud itu muncul begitu saja. Akal kita tidak bisa menerima bahwa sejumlah potongan batu bata telah berkumpul bersama-sama secara kebetulan dan dengan sendirinya untuk membentuk sebuah rumah.   Jadi realisme instinktif manusia menyatakan bahwa alam wujud pastilah memiliki satu penopang yang merupakan Sumber wujud  dan Pencipta serta Pemelihara alam semesta, dan bahwa Wujud serta Sumber kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas ini adalah Tuhan, sumber segala wujud dalam sistem eksistensi.
Menurut teori peluang, sebagai contoh, bila kita mengocok huruf yang tertulis dalam kertas masing-masing bertuliskan A, B, C hingga Z (ada 26 huruf). Kemudian kita ambil satu demi satu dan diletakkan di atas meja berurutan. Maka peluang kemunculan huruf-huruf tersebut berurutan ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ adalah kurang dari 0,0000000000000000000000000025 atau kurang dari seperempatratus trilyun trilyun.
Dalam tubuh manusia (70 kg) terdapat sekitar 7 trilyun trilyun trilyun atom (99%nya adalah Hidrogen, Oksigen dan Karbon).  Bisakah kita bayangkan betapa kecil kemungkinan 7 trilyun trilyun trilyun atom ini membentuk, menyusun, berinteraksi dengan sangat kompleks secara “kebetulan” sehingga seorang manusia mewujud di dunia dengan kelengkapan sistem kehidupannyanya ?
Bagaimana pula dengan masyarakat manusia yang terdiri atas milyaran manusia dan tak terhitung spesies-spesies tumbuhan dan hewan baik di daratan maupun di lautan yang tertata rapi membentuk rantai-rantai ekosistem dan berbagai keteraturan dan kesalingterkaitan?
Bagaimana pula dengan planet bumi yang terdiri atas trilyun trilyun trilyun ….. atom yang tertata sedemikian rapi dengan pergantian musimnya, hukum-hukum geologis, hukum-hukum meteorologi, siklus air, keteraturan arus-arus lautan, dan tak terhitung keteraturan-keteraturan lain?
Bagaimana pula dengan posisi bumi di tatanan tata surya, yang “melayang-layang” tanpa tiang bersama planet-planet lain; dan mengikuti berbagai aturan yang bahkan terukur dengan sangat nyata seperti hukum Keppler? Dengan posisi rotasi yang memungkinkan siklus empat musim? Bagaimana pula tata surya sebagai satu dari 100 milyar bintang yang berputar-putar mengitari pusat galaksi bima sakti?
Jadi realisme instinktif manusia menyatakan bahwa alam wujud pastilah memiliki satu penopang yang merupakan Sumber wujud  dan Pencipta serta Pemelihara alam semesta, dan bahwa Wujud serta Sumber kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas ini adalah Tuhan, sumber segala wujud dalam sistem eksistensi.
Allah SWT berfirman:
Bukti 1 gb1
“Dia (Musa) berkata,’ Tuhan kami ialahyang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’“ (QS 20(THO HA): 50)
Bukti 1 gb2
“Sucikanlah Nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi,
Yang Menciptakan, dan Menyempurnakan,
Dan yang Menentukan Kadar (masing-masing ) dan Memberi Petunjuk,” (QS 87(AL-A’LA): 1–3)

AkidahSufi Rasulullah

Diantara persoalan yang digugat oleh mereka yang anti Tasawuf adalah mengenai akidah kaum Sufi terhadap Rasulullah SAW. Mereka menuduh kaum Sufi bahwa, kaum Sufi berpandangan kalau Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi.
Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi, sebagaimana ungkapan Abu Yazid al-Busthamy, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”.
Bahkan Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Arasy, Kursy, Qolam, langit dan bumi diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama Maujud, dan dialah yang bersemayam di Arasy.
JAWABAN
Kenapa mereka yang kontra terhadap dunia Sufi sebegitu dangkal memahami metafor-metafor yang menjadi bahasa khas para Sufi? Sebegitu dangkalkah mereka memahami Al-Qur’an sehingga memiliki tuduhan terhadam kaum Sufi sebagai kelompok yang berpandangan sesat?
Para Sufi sama sekali tidak pernah berpandangan bahwa Rasulullah SAW. tidak mencapai martabat Sufi. Justru sebaliknya Rasulullah adalah tipe ideal Insan Kamil, sebagai puncak paripurna yang tak tertandingi dalam dunia Sufi. Rasulullah adalah teladan utama para Sufi. Rasulullah SAW, adalah panutan secara syari’at maupun hakikat dari para penempuh jalan Sufi. Rasulullah adalah par-exellent yang justru membimbing jiwa-jiwa yang rindu kepada Allah, dan kerinduan kepada Allah secara hakiki hanya dialami oleh para penempuh itu.
Coba jika mereka mau mencoba memahami karya Ibnu Araby maupun Al-Jily yang selama ini mereka tuduh sebagai biangkerok penyimpangan akidah. Mereka tidak memahami bahasa-bahasa hakikat dalam tradisi ilmu Tasawuf, yang mereka gunakan hanyalah akal rasional. Sedangkan wilayah akal rasional itu, tidak mampu menyentuh dunia batin, dunia ruh, dunia Rahasia Ilahi. Obyek rasional hanyalah teori, logika dan aksioma, dan terbukti gagal untuk Ma’rifatullah. Apakah mereka akan terus menerus berkubang dalam Lumpur tipudaya imajiner mereka?
Salah satu contoh betapa mereka dangkal memahami metafora dunia Sufi adalah cara mereka menilai Abu Yazid Al-Bisthamy. Kata-kata Abu Yazid itu bukan sama sekali menunjukkan bahwa Abu Yazid lebih unggul dari para Nabi dan Rasul. Coba renungkan dengan jiwa yang suci, kata-katanya, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul sudah tuntas menyelami Lautan Ilahi. Nabi dan Rasul sudah sampai ke benuanya, sedangkan Abu Yazid masih mengarunginya.
Abu Yazid sedang mengarungi Lautan demi Lautan Ilahi, Lautan Malakut, Lautan Jabarut dan Lautan Lahut. Bahkan Tujuh Lautan Ilahi yang sedang diarunginya. Para Nabi dan Rasul sudah selesai, sudah sampai ke pantai benuanya, turut memberi syafaat dan mendoakan Abu Yazid dan yang lainnya.
Mengenai Nur Muhammad dan Muhammad sebagai awal wujud, memang benar. Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul di dunia, yang lahir dalam waktu dan ruang sejarah, tahun tertentu, dan dengan peristiwa historis tertentu, tentu berbeda dengan nama Muhammad yang menjadi awal maujud ini.
Mereka yang kontra dengan dunia Sufi memang tidak memahami apakah sesungguhnya hakikat Nur (Cahaya) itu sendiri. Berapa lapiskah Cahaya Ilahi itu, dan apa bedanya Nurullah dengan Nur Muhammad, apa pula bedanya dengan Nurun alan-Nuur, yang ada di Al-Qur’an itu. Justru para Ulama Sufilah yang bisa menafsirkan secara universal dan tuntas mengenai ayat Cahaya dalam Al-Qur’an itu.
Belum lagi makna dari Kegelapan (Dzulumat), bagaimana wujud dzulumat, apa pula lapisan dzulumat, fakta dzulumat, rekayasa dzulumat dan bagaimana strategi Iblis dan Syetan muncul dari wahana dzulumat?
Dalam hadits disebutkan, “Pertama kali diciptakan adalah An-Nuur”, dan hadits lain menyebutkan, “Awal yang diciptakan Allah adalah al-Qolam…” serta hadits lain berbunyi, “Awal yang diciptakan Allah adalah akal…”
Tiga hadits itu sesungguhnya sama sekali tidak bertentangan. Kalau mereka mau mempelajari Ushul Fiqh saja, akan tahu bagaimana sistematika istimbath manakala ada hadits satu sama lain yang terkesan kontradiktif. Maka ada jalan keluar untuk menyimpulkan secara al-Jam’u (kompromi) atau bersifat nasikh dan mansukh. Tetai hadits tersebut cukup difahami dengan penggunaan metode al-Jam’u, yaitu dengan memahami bahwa Nur, Qolam, Akal, adalah “satu kesatuan dalam keragaman”.
Karena satu kesatuan, Nur, Qolam dan Akal merupakan tiga dimensi yang saling berkelindan, baik secara eksistensial maupun fungsional. Artinya Nur adalah esensi dari akal, dan Akal adalah esensi dari Qolam. Nur adalah rahasia Akal, dan Akal adalah rahasia Qolam, dan Qolam adalah awal ayang membuat Titik dari huruf Nun dalam Kun itu.
Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah Wujud Paripurna secara ruhani dari seluruh alam semesta, karena itu jika disebutkan dalam ayat Ar-Rahmaanu ‘alal Arsyi Istawa (Yang Maha Rahman bersemayam di Arasy) maka, hakikat Ar-Rahman secara makrokosmos adalah jiwa Muhammad, dan Muhammad adalah penyempurna Ar-Rahman yang termaujud dalam Ar-Rahim. Karena itu dalam Surat At-Taubah, dua ayat terakhir, menyebutkan sifat Nabi Muhammad adalah Ro’ufur Rohiim.
Maka, dengan akal yang dangkal dan pikiran rasional, manusia sering memaksa diri untuk memahami hal-hal yang metafisis, akhirnya malah gagal, lalu berujung menjadi sikap apriori terhadap dunia alam bathiniyah, yang menjadi wilayah hamparan pertumbuhan Cahaya Iman kita. Wallahu A’lam.

Suyuthi & ilmu,manthiq

Al-Imam As-Suyuthi berkata dalam Husnul Muhadhoroh 1/339:
وقد كنت في مبادئ الطلب قرأت شيئًا في المنطق، ثم ألقى الله كراهته في قلبي، وسمعت ابن الصلاح أفتى بتحريمه فتركته لذلك فعوضني الله تعالى عنه علم الحديث الذي هو أشرف العلوم.
“Dulu pada awal menuntut ilmu, aku mempelajari sedikit ilmu mathiq, kemudian Allah menaruh kebencian terhadapnya di dalam hatiku dan aku mendengar Ibnush Sholah berfatwa tentang haromnya ilmu kalam, oleh karena itu Allah memberikan ganti untukku dengan ilmu hadits yang merupakan ilmu yang paling utama.”

Pelajaran:
1. Ini nasehat dan pelajaran bagi kita untuk meninggalkan dan menjauhi ilmu kalam mantiq.
2. Imam As-Suyuthi mengakui bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang paling utama. Dan inilah ciri ahlussunnah -ahlul hadits- sangat memuliakan hadits-hadits Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Abu Amr Ibnu Sholah sebagaimana Imam Syafii dan Imam An-Nawawi mengharamkan ilmu kalam.
4. Dalam perkataan ini, ada teladan dari Imam As-Suyuthi untuk menjalankan fatwa para ulama yang dikenal dengan kesholihan mereka dan dekat kepada ketaqwaan, tidak mengikuti orang-orang bodoh yang tidak jelas landasan hukumnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5. Memahami Islam yang benar itu berdasar dengan al-qur’an, sunnah (hadits) dengan pemahaman generasi yang diturunkan wahyu padanya, yaitu generasi shohabat, lalu generasi yang mengambil ilmu dari mereka yaitu tabiin, dan generasi setelahnya yang dikenal dengan tabiut-tabiin. Dan kemudian setelahnya para ulama ahlussunnah yang dikenal mengikuti tiga generasi terbaik ini dengan baik, yang disebut salaf.
6. Tidak memahami Islam dengan perasaan dan zhon orang-orang sufi, takwilan orang-orang bodoh dalam agama, dan tidak pula dengan ilmu kalam dan pendapat akal orang-orang rasionalis, seperti di Indonesia ada kelompok sempalan Islam Liberal yang tidak beragama dengan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Wallahu a’lam.

Paham NU

Paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut
Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.

Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. (12

KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulamâ. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

(1) risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bidah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13 karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).(14

Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. M. Hasyim Asyari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah al-Murîd, menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. (15
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana. (16
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jamaah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jamaah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jamaah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.

Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jamaah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jamaah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf . (17
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk. (HR. al-Baihaqi).

Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah para tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi (HR. Ibn Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19 Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.(20
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf. (21

Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mutabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jamaah. (22
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. (23
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jamiyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jamiyyah NU, KH. M. Hasyim Asyari menegaskan, Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Quran, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimengerti sebagai para pengikut sunnah Nabi dan ijma para ulama. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Quran maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jamaah yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Quran dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.

Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam.

Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
lebih dari setahun yang lalu · Laporkan

MENGENAL ALLAH (2)

Sementara kaum yang anti Thariqat Sufi merasa telah bercermin dengan benar, padahal mereka tidak mengetahui jika cermin yang digunakan itu adalah cermin yang buram, retak, dan cara bercermin yang keliru. Ketika mereka menuding orang lain, sesusungguhnya mereka sedang menuding diri sendiri.
Kata-kata yang muncul dari para Sufi sesungguhnya harus difahami menurut konsumsi Bathiniyah dari kandung Al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya ketika seseorang mempraktekkan Ihsan, “Seakan-akan engkau melihat Allah, dan jika tidak melihatNya, Allah melihatmU,” pastilah menimbulkan pantulan cahaya Ubudiyah yang agung dengan sesuai dengan kondisi psikholohis ruhani masing-masinghamba Allah. Pantulan cahaya Ilahi inilah yang tidak bisa difahami oleh orang yang tidak pernah megalami perjalaan ruhani ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Mukasyafah atau keterbukaan Rahasia Ilahi adalah Hak Allah yang diberikan kepada yang dikehendakiNya. “Allah berbuat sebagaimana yang dikehendakiNya.” Termasuk menghendaki hambaNya untuk mengetahui yang ghaib, rahasia takdir, dan rahasia alam semesta raya, baik yang fisik maupun yang metafisik.
Diantara rahasia yang dianugerahkan oleh Allah kepada para Sufi adalah mengenal rahasia huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an. Sebab, hakikat huruf-huruf itu adalah Asma’ Allah, dipastikan memiliki hubungan korelatif dan apresiatif secara paripurna dengan kehidupan hamba, alam semesta bumi langit seisinya, dan alam akhirat, bahkan Asma’, Sifat, Af’al dan DzatNya.
Mereka menuduh bahwa kaum Sufi menjauhi Qur’an dan Hadits, lalu mendahulukan mukasyafah. Ini tuduhan yang salah benar, karena seluruh aspek Mukasyafah sesungguhnya merupakan penafsiran dari Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Setiap Mukasyafah harus ditimbang dengan Qur’an dan Sunnah, hal demikian sangat popular di kalangan Sufi. Karena itu dalam dunia Sufi, sangat dibedakan mana yang bisikan Jin, Syetan, Malaikat, Ilham, dan yang langsung dari Allah.
Ibnu Abbas ra, sendiri telah menegaskan bahwa dirinya diberi Ilmu oleh Allah Ta’ala, sebagian bisa disebarkan (publikasi), dan sebagian bila disebarkan justru ia akan dikafirkan dan dibunuh oleh banyak orang. Artinya, aspek Mukasyafah sangatlah individual, dan memang tidak bisa diungkapkan kecuali pada ahlinya atau orang tertentu yang relevan dengan manfaat dunia akhiratnya.
Mengenai Wihadatul Wujud, Hulul, Al-Faidl (ilmuniasi), sesungguhnya justru tidak ada dalam dunia Sufi. Yang ada adalah Widatus Syuhud. Orang yang pertama kali mengatakan Wihdatul Wujud adalah Ibnu Taymiyah yang memang anti dengan pengalaman Dunia Sufi. Ia menuduh Sufi itu Wihdatul Wujud, sebuah tudingan yang jauh dari pengalaman ruhani Sufistik. Karena Wihdatul Wujud sering diartikan dengan panteisme, sedang konsep Sufi tentang penyatuan hamba dan Allah jauh dari panteisme. Penyatuan itu bersifat ruhani dan musyahadah (penyaksian mata hati, mata ruh dan mata rahasia batin. Bukan wujud fisik. Hal demikian pun diurai secaa lembut melalui kaidah-kaidah Sufi agar tidak menyimpang dari Tauhid, sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam.
Kalau kita membaca Al-Qur’an dengan pandangan kulitnya, formalitas dan penafsiran tekstual belaka, maka kita pun ketika memahami wacana Sufi juga akan terjebak sedemikian rupa. Karena itu dalam tradisi Sufi harus ada Mursyid Kamil Mukammil yang membimbing, agar mereka tidak terkena ghurur (tipudaya) dalam menempuh perjalanan menuju kepada Allah. Tidak begitu mudah orang memahami pandangan Ibnu Araby, Abu Yazid al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Bisyr Al-Hafy, Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abdul Karim al-Jily, Al-Hallaj, maupun Abul Hasan asy-Syadzily.
Bagaimana anda bisa memahami arti tenggelam di lautan, sementara anda belum pernah tenggelam, dan hanya mendengarkan kisah tentang orang tenggelam saja?
Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam?

Syafii Sufiyah

Imam Syafii telah mencela sufiyah (shufiyyah) karena kesesatan mereka. Beliau telah menyebutkan ciri-ciri mereka untuk memperingatkan agar tidak tertipu dengan mereka dan masuk ke dalam bid’ah sufiyah.
Hal ini nampak sangat jelas dalam teks-teks ucapan beliau tentang firqoh (golongan, sekte) ini.
Di antara ucapan beliau:
1. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Yunus bin Abdil A’la, dia berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafii berkata: “Kalau seorang menganut ajaran tasawuf (tashawwuf) pada awal siang hari, tidak datang waktu zhuhur kepadanya melainkan engkau mendapatkan dia menjadi dungu.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)
Dungu adalah sedikitnya akal. Dan itu adalah penyakit yang berbahaya.
Tidaklah aneh ahli tasawwuf dalam waktu kurang dari sehari akan menjadi orang yang dungu. Tulisan-tulisan mereka sendiri menjadi saksi tentang hal itu. An-Nabhani -seorang sufi- dalam kitabnya yang penuh dengan khurofat, kezindiqan, dan kesesatan; yang berjudul Jami’ Karomat Auliya tentang biografi Ahmad bin Idris, dia berkata:
[Di antara karomahnya yang agung yang tidak bakal dicapai kecuali oleh orang-orang tertentu adalah berkumpulnya dia dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan bangun (terjaga), kemudian dia mengambil wirid-wiridnya, hizb-hizbnya dan sholawatnya yang masyhur dari beliau secara langsung ......
Dia (Ahmad bin Idris) diuji dengan hilangnya indera dengan benda-benda yang ada. Kemudian dia mengeluhkan kepada sebagian guru-gurunya. Kemudian sang guru berkata: ‘Kaana (Jadilah dia).’ Ahmad bin Idris menceritakan dirinya: Maka dengan semata ucapan sang guru “kaana”, hilang dariku semua rasa sakit, kemudian aku bangkit waktu itu juga dan jadilah aku seperti orang yang tidak ditimpa sesuatupun. Aku memuji Allah. Dan aku mengetahui bahwa telah pasti apa yang dikatakan para tokoh sufi: Awal jalan adalah junun (kegilaan), pertengahannya funun, dan akhirnya ‘kun fa yakun’.”]
Perkataan ini tidak pernah diucapkan oleh seorang yang berakal sama sekali. Karena tidak ada yang berhak dengan sifat seperti ini -yaitu mengucapkan kepada sesuatu ‘kun fa yakun’ selain Allah. Allah berfirman tentang Diri-Nya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia (Kun fa Yakun). (Yasin: 82)
Mereka –ahil tasawwuf- telah mengakui bahwa diri mereka adalah gila.
Sehingga tidak keliru ketika Imam Asy-Syafii mengatakan: “Tidaklah aku melihat seorang sufi yang berakal sama sekali.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)
2. Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Tidaklah ada seorang yang berteman dengan orang-orang sufi selama 40 (empat puluh) hari, kemudian akalnya akan kembali selama-lamanya.”
Dan beliau membacakan syair:
ودع الذين اذا أتوك تنسكوا … واذا خلوا فهم ذئاب خفاف
Tinggalkan orang-orang yang bila datang kepadamu menampakkan ibadah
Namun jika bersendirian, mereka serigala buas
  (Talbis Iblis hal. 371)
   
3. Imam Asy-Syafii juga berkata: “Dasar landasan tasawwuf adalah kemalasan.” (Al-Hilyah 9/136-137)
Kenyataan sufiyah menjadi saksi apa yang dikatakan Imam Asy-Syafii bahwa dasar landasan mereka adalah malas. Mereka adalah orang yang paling rajin dalam menunaikan bid’ah dan penyelisihan syariat. Dan mereka juga orang yang paling sangat malas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menghidupkan sunnah-sunnah nabi (tuntunan-tuntunan nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai tambahan… suatu waktu Imam Waki’ (salah satu guru Imam Asy-Syafii) berkata  kepada Sufyan bin ‘Ashim: “Kenapa engkau meninggalkan hadits Hisyam?” Sufyan bin Ashim menjawab: “Aku berteman dengan satu kaum dari sufiyyah, dan aku merasa kagum dengan mereka, kemudian mereka berkata: ‘Jika kamu tidak menghapus hadits Hisyam, kami akan berpisah denganmu’.” Maka Imam Waki’ berkata: “Sesungguhnya ada kedunguan pada mereka.” (Talbis Iblis hal 371-372)
Insya Allah menyusul perkataan imam ahlussunnah wal jamaah -imam salaf- yang lainnya tentang sufiyyah.
***

denag postig yang harys

aaafsdffffsd

Ilmu Kalam dan Filsafat



Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam dan Filsafat  Untuk Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?
Di antara bid`ah besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. 
Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut mereka hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan, baik dengan mengetahui kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.
Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in. Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:
1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).
Alloh Swt berfirman :
Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al An`am [6]: 114-117)
Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat ini :
Firman Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah : benar tentang janji-janjiNya dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam berbagai beritaNya dan adil dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar yang disampaikanNya adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau kegamangan. Setiap perintah yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada lagi tandingan selainNya. Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena Dia tidak melarang sesuatu kecuali pasti mengandung mafsadah…”
Di bagian lain beliau menjelaskan :
Alloh swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang kondisi mayoritas manusia penghuni bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir : 3/1351)
2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Kita telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)
Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para sohabat beliau saw.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh rido kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Qs. At Taubah [9]: 100)
Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Alloh akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137)
Alloh Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang itu (yaitu para sohabat Nabi saw) beriman." mereka menjawab: "Kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 13)
Akan tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak beberapa perkataan mereka yang mulia, di antaranya :
Abu Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw sebutkan ilmu tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)
Waktu seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :
“Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah beristinja?”
Beliau rda menjawab :
“Ya betul”. (Hr. Muslim: 262)
Az Zuhri rhm berkata :
مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اَلرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا اَلتَّسْلِيْمُ
Dari Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan utuh)”. (Hr. Bukhori: 46)
Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani (plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para nabi dan rosul.
Pantaskah logika kaum musyrikin kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?
Syihristani rhm berkata :
“awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh melaknatnya). Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu (pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Alloh serta kesombongannya dengan bahan mentah asal pencptaanya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16)
Bencana filsafat, ilmu kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah dimulai sejak  masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93).  Akan tetapi titik terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid, terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium.
Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai “ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah dan ilmuan.
Dari sini tampak jelas di hadapan kita bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami Islam.
5. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah. Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan, kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah contoh lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.
Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf ‘an Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih dianggap orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?
Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir langkah logika adalah kekacauan.
dan penghujung usaha dunia adalah kesesatan.
Ruh-ruh yang berada di jasad selalu galau…
Hasil dunia hanyalah kepedihan dan bencana.
Kami tidak mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya begini dan begitu.
Berapa banyak kami melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan sirna.
Berapa banyak gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi gunung tetaplah gunung
Kemudian dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh) aku membaca firmanNya:
Alloh yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy (Thoha:5)
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)
Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh) akupun membaca firmanNya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Assyuro:11)
Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)

Kemudian dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang (kebingungan dan penyesalan).
Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia bersyair:
Aku telah mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,
Akupun telah menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian menyesal.
Dan dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun 537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian syairnya yang indah tentang masalah ini adalah:
Wahai Dzat yang melihat sayap nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada lehernya juga sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan yang akan menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.
Semua ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:
Abu Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda tentang hal-hal baru yang diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?” Beliau rhm menjawab : “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru, karena semua itu adalah bid`ah”. (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8 serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al Qur`an. Beliau rhm berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat `Amr, karena membuat-buat bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu, niscaya seluruh sohabat Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum dan syari`at-syari`at mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan kebatilan”. (Dzammul Kalam : 294)
Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H) berkata :
Barangsiapa mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia zindiq. Barangsiapa yang mencari makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta. Barangsiapa yang mencari harta dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”. (Dzammul Kalam: 326)
Sehingga Al Imam Syafi'i mengatakan : 'Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.' (Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul Kalam: 356)
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan).
" (Talbis Iblis: 83)
Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf. Wafat : 329 H) rhm berkata :
Ketahuilah… Tidak ada kezindiqan, kekufuran, keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan dalam agama kecuali disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan peseteruan”. (Syarh as Sunnah : 38)
  
Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Memahami Islam
1. Sumber agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh dalam bentuk Al Qur`an dan Hadits yang shohih.
Islam diturunkan dan diajarkan oleh Alloh Swt kepada Rosululloh saw, baik dalam lafadz-lafadzNya, cara memahaminya maupun cara menerapkannya. Untuk itu, sumber yang benar dalam agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh sendiri, yaitu Al Qur`an dan hadits-hadits yang shohih. Dalil-dalil prinsip ini adalah firman Alloh Swt :
48.  Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan pembatas kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Alloh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Alloh hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Alloh-lah kembali kalian semua, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu, (Qs. Al Maidah [5]:48)
Imam Asy Syafi`i rhm berkata :
" ولا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله ، أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، وما سواهما تبع لهما "
 “Satu pendapat bagaimanapun tidak akan menjadi keniscayaan kecuali dengan Kitabulloh atau sunnah RosulNya. Selain kedua sumber tersebut hanya mengikuti keduanya.” (Jima` al `Ilm: 11)
2. Ijma` Sohabat adalah hujjah syar`iyyah.
Walaupun satuan sohabat Nabi saw tidaklah ma`sum, akan tetapi ketika mereka bersatu pendapat dalam satu faham atau cara penerapan tertentu dalam agama ini maka kedudukannya adalah ma`sum dan sebagai hujjah syar`iyyah.
Alloh swt berfirman :
Barangsiapa yang berselisih jalan dengan Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. An Nisa [4]:115)
Imam asy Syafi`I rh memberikan kesimpulan tentang ayat ini sangat jelas:
“Alloh menggabungkan ancaman kepada orang yang berselisih jalan dengan Rosul saw bersama orang yang menyelisihi jalan (kesepakatan) orang-orang yang beriman. Seandainya mengikuti selain (kesepakatan) jalan orang-orang yang beriman itu boleh, niscaya Alloh tidak menggabungkan keharamnya dengan menentang Rosul. Mengikuti selain jalan (kesepakatan) mereka berarti menyelisihib pendapat-pendapat dan amal-amal mereka”. (Anwar at Tanzil, Baidowi : 1/243)
Rosululloh saw bersabda :
“Alloh tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan selama-lamanya”. (Hr. Al Hakim dalam Mustadroknya: 1/115)

3. Menolak semua bentuk bid`ah, baik bid`ah dalam aqidah, manhaj maupun amal.
Ahlus Sunnah wal Jama`ah berkeyakinan bahwa bid`ah dengan segala bentuknya dalam agama adalah kesesatan yang nyata. Bid`ah adalah semua aqidah atau peribadatan yang mengatasnamakan Islam tetapi tidak disyari`atkan atau diajarkan oleh Islam. Secara umum dan global bid`ah sangat berbahaya, lebih berbahaya daripada maksiat meninggalkan perintah atau melanggar larangan, karena pembuatnya telah menempatkan dirinya sebagai pemegang hak membuat hokum. Walaupun, dari segi satuan-satuannya keberbahayaan bid`ah bertingkat-tingkat.  
Alloh swt berfirman :
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menyimpangkan kalian dari jalanNya (yang lurus). yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian bertakwa. (Qs. Al An`am [6] : 153)

4. Semua hadits shohih diterima sebagai dalil dan dasar untuk semua masalah termasuk masalah aqidah, baik hadits itu berderajat mutawatir atau ahad.
Semua ulama salafus solih telah menjadikan hadits Nabi saw yang shohih berasal dari beliau sebagai sumber ilmu dan hokum. Mereka sama sekali tidak membeda-bedakan antara riwayat hadits yang dibawa oleh banyak orang yang berderajat mutawatir atau orang perorang yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Alloh Swt berfirman :
apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumanNya. (Qs. Al Hasyr : 7)
Ibnu Hazm rhm berkata :
“Abu Sulaiman, Husein bin Ali al Karobisi , Harits bin Asad al Muhasibi dan ulama lainnya berkata : sesungguhnya khobar satu orang yang adil dari orang yang semisalnya sampai kepada Rosululloh saw meniscayakan keilmuan dan keharusan mengamalkannya. Inilah pendapat yang kami pegang”.
Ahmad Syakir rhm berkata :
“Kebenaran yang didukung oleh dalil-dalil yang shohih adalah pendapat Ibnu Hazm dan para ulama yang sependapat dengan beliau bahwa hadits yang shohih menyampaikan kepada ilmu qot`I, baik yang ada pada salah satu kitab bukhori muslim atau kitab hadits lainnya. Ilmu keyakinan ini adalah ilmu teoritis ilmiyah yang hanya bisa dicapai oleh seorang alim yang luas dalam ilmu hadits serta mengetahui kondisi para perawi dan cacat-cacatnya”. (al Bais al Hasis:39)
5. Wahyu dari Alloh Swt tidak ada yang bertentangan dengan akal yang bersih.
Wahyu Alloh swt adalah kalamNya Yang maha berilmu dan Maha luas ilmuNya, Yang Maha adil lagi Maha bijaksana. Wahyu ini ditujukan untuk manusia-manusia yang berakal dan akallah tempat tugas-tugas keagamaan dariNya diberikan. Jadi tak mungkin wahyu bertentangan dengan akal yang bersih dan sehat. Kalau seakan-akan terjadi secara dzohir ada pertentangan di antara kedunya, maka kemungkinan yang paling meyakinkan adalah akal yang kurang bersih atau kurang tepat dalam memahaminya.
Dan Kami mengutus rosul-rosul hanya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan. (QS. Al Kahfi [18]:56)

6. Beriman kepada semua khabar-khabar goib yang datang dari Alloh melalui Al Qur`an dan As Sunnah dan tidak mempercayai khabar gaib apapun dari selain keduanya.
Sesuatu yang goib adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Hanya Alloh Swt Yang Maha luas ilmuNya yang mengetahui yang goib dan tak ada satu makhlukpun yang mengetahuinya kecuali yang diberitahu atau diajarkan oleh Alloh Swt sendiri, seperti para Nabi dan rosul. Siapapun yang mengaku mengetahui yang goib atau menganalisa dan melahirkan teori-teori tentang yang goib, maka orang itu pendusta dan telah melakukan kesyirikan yang amat besar.
Alloh Swt berfirman:
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Alloh ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepada kalian bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)?" (Qs. Al An`am [6]:50) 
Dan pada sisi Alloh-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Qs. Al An`am [6] : 59
)